Pria Takari Utama
Catatan Ringan PRIA TAKARI UTAMA
Dulu, lebih 10 tahun lalu, penumpang pesawat dilarang menghidupkan HP. Konon, bisa mengganggu sistem navigasi. Begitu masuk pesawat, HP harus dimatikan.
Kru pesawat tegas sekali soal ini. Tak bisa main-main. Jika ada penumpang yang bandel, bisa ribut dengan petugas maskapai. Maklum, beberapa kasus kecelakaan pesawat, diklaim dan diduga terjadi karena penumpang tidak mematikan HP-nya.
Perkembangan beberapa tahun kemudian, seiring berjalannya waktu, ternyata HP boleh dihidupkan di pesawat. Tapi dengan catatan harus dengan airplane mode. Artinya, HP nyala, tapi komunikasi dengan dunia luar, tak bisa. Paling kita hanya bisa mengakses aplikasi internal yang tersedia di perangkat HP pribadi kita saja. Contohnya galeri foto, musik, voice dan note.
Berikutnya, lebih kurang 5 tahun lalu, terjadi perkembangan cukup menakjubkan. Maskapai-maskapai premium, justru mulai menyediakan fasilitas internet bagi penumpangnya. Artinya teknologi makin maju: internet bagi penumpang, ternyata tak lagi mengganggu sistem navigasi pesawat dan membahayakan penerbangan. Penumpang justru bisa ikut menikmati internet. Namun, fasilitas akses internet tersebut masih terbatas. Penumpang harus bayar. Biasanya tarifnya per menit atau per jam. Itu pun biasanya khusus buat penumpang kelas utama dan bisnis.
Pada zaman itu, betapa bangganya sementara orang, bisa internet dari udara. Padahal, dibatasi waktunya dan berbayar. Apalagi jaringan internet itu didapat karena ia duduk di kelas bisnis. Wah, merasa super deh pokoknya.
Selanjutnya, apa yang terjadi kini? Saat ini, maskapai premium justru menyediakan fasilitas internet. Tak tanggung-tanggung: untuk semua penumpangnya, tanpa batas kuota dan jangka waktu. Dan, tanpa bayar sama sekali alias gratis. Luar biasa.
Maskapai Singapore Airline (SQ) misalnya, dari monitor di tempat duduknya, penumpang bisa klik Krisflayer. Masukkan nomor anggota Krisflayer, nomor seat, maka dilayar kita muncul kode pasword. Masukkan pasword itu ke perangkat di HP, maka kita segera terhubung dengan dunia luar. Tak ada bedanya ketika berada di darat, di rumah atau di kantor.
Kita bisa internetan dari cakrawala nun tinggi di sana. Mengakses semua medsos, membuka email dengan leluasa. Bahkan melakukan transaksi perbankan. Bisa juga IG live dan zoom. Juga akses google. Dapat membuka e-book, berbagai media online dan koran digital. Ingat, tanpa lelet, tanpa sinyal mutar-mutar. Tanpa batas. Tanpa hambatan. Dan, tanpa bayar. Sesuatu yang sangat tak mungkin lebih satu dasa warsa yang lalu.
Sekadar berbagi cerita. Saat saya menulis catatan ini, kami lagi terbang dari Seattle, USA, ke Singapura. Pada ketinggian 36.000 kaki dari permukaan laut, di angkasa Samudera Pasifik, saya leluasa terhubung dengan internet.
Berkat fasilitas jaringan internet di pesawat, saya dapat menulis catatan ini lalu bisa mengunggahnya. Begitu juga tempo hari ketika perginya. Karena menggunakan SQ ke Amerika Serikat, dari Jakarta saya transit di Singapura, terus transit lagi di Narita (Tokyo), baru terbang lagi ke Los Angeles.
Dari LA kami sengaja tak naik pesawat, tapi menyetir mobil sendiri: Ford Expedition 4 WD. Menjelajahi berbagai lokasi dan kota mulai dari Yosemite National Park, San Fransisco, Eugene, Portland, Seattle, terus ke Kanada: Vancouver dan sekitarnya sampai ke Whistler.
Satu hal yang sangat mengesankan: lebih kurang 4.000 km perjalanan, jalan raya sangat mulus. Rata-rata tiga lajur, jalur ganda, tak pernah sekalipun ketemu lobang dan bekas tambalan aspal. Dan yang bikin iri banget, sungguh, jalan free way: tak bayar sepeser pun.
Beda dengan jalan tol di Indonesia yang bayarannya mahal dan tarif naik terus. Terlihat sekali betapa jalan raya dibangun pemerintah USA dan Kanada benar-benar untuk melayani publik. Berbeda dengan di negeri 062, jalan raya (tol) seperti “diperdagangkan” dengan rakyat.
Nah, kembali ke cerita soal penerbangan langsung Seattle-Singapura tadi. Ini penerbangan tanpa transit. Bak melintasi setengah bumi dan lintas waktu internasional. Terbang selama 16 jam 30 menit, tentu tak harus diisi hanya dengan sekadar tidur. Apalagi melamun. Atau nonton film, mendengarkan musik yang tersedia di pesawat. Boleh juga sih bila tetap begitu. Namun, saya memilih tetap bisa produktif. Umpamanya seperti yang saya lakukan: di samping menulis, urusan kantor dan bisnis juga tetap bisa dilakukan. Termasuk urusan pribadi, seperti memonitor tukang bangunan yang lagi kerja di rumah kami. Ya, meskipun saya sedang berada di angkasa tinggi, di atas samudera luas Pasifik.
Begitulah perkembangan teknologi. Dulu tak mungkin dan tak bisa, kini bisa dan leluasa. Jadi, tampaknya kita harus terus pandai-pandai membaca dan menyikapi perkembangan zaman. Semua keadaan berubah. Cepat. Kadang kala dramatis.
(PRIA TAKARI UTAMA, dari ketinggian 11.227 meter di atas Samudera Pasifik).