Fasilitas Taman Budaya Sumbar Dirubuhkan, Dewan Kesenian pun "Dibunuh"

 

Ery Mefri (narasumber), Hermawan, dan Harris Effendi Thahar. (Foto Yurnaldi/AjarDetik.com)


Oleh ISA KURNIAWAN

Budayawan dan seniman Ery Mefri merasa prihatin dengan kondisi berkesenian di Sumbar yang tidak maju-maju. Malahan menurutnya semakin mundur. Diibaratkannya, muncuang disuok-i, ikua dicucuak duri.

“Urusan kebudayaan di Sumbar itu 90 persen diurus oleh orang yang tidak punya ilmu di bidang kebudayaan. Inilah salah satu sebab kenapa dunia berkesenian di Sumbar itu semakin parah,” ujar Ery Mefri, saat menjadi narasumber di acara Diskusi Budaya yang digelar Forum Perjuangan Seniman (FPS) Sumatera Barat dengan tema; Seniman dan Taman Budaya, bertempat di Galeri Taman Budaya Sumbar di Jl Diponegoro Padang, Sabtu (27/1/2024).

Kadang karena ketidakpahaman terhadap berkesenian itu, kata Ery Mefri lagi, terjadi hal-hal yang tidak pada tempatnya. Sehingganya nilai karya seni itu menjadi terendahkan.

Kemudian saat ini, lanjut Maestro Tari Minang yang merupakan pendiri Nan Jombang Dance Company ini, ia melihat pemangku kepentingan yang mengurus kesenian itu masih memikirkan kuantitas, tidak kualitas. “Apakah dengan mengedepankan kuantitas bisa melakukan penipuan?” tanya Ery.

Ditambahkan Ery, ada sekitar 70 kantong dana pemerintah untuk berkesenian di Sumbar. Mulai dari provinsi sampai ke kabupaten/kota, yang terdapat di dinas-dinas setempat. Kemudian ditambah lagi dengan pokir (pokok pikiran) anggota dewan.

Dengan dana dari pemerintah, atau pokir anggota dewan tersebut, kemudian dilaksanakan kegiatan seni asal-asalan yang kadang diselenggarakan di sembarang tempat. Jadinya tidak tepat sasaran.

Mengenai Taman Budaya, Ery Mefri mengatakan bahwa seniman itu bukannya anti pembangunan, tetapi adanya rencana alih fungsi terhadap pembangunan gedung kebudayaan itulah yang membuat seniman menggugat.

“Rumah tempat kami (seniman) berkreativitas diruntuhkan. Kemudian ada rencana alih fungsi Taman Budaya menjadi hotel. Kami merasakan kebiadaban yang dilakukan oleh rezim sekarang ini,” ucap Ery, yang juga menjadi salah seorang Presidium FPS Sumatera Barat.

“Saya ini produk Taman Budaya,” tegas Ery, seraya menekankan bahwa pencapaiannya di dalam berkesenian sampai saat ini, tidak terlepas dari peran Taman Budaya sebagai tempat berkreativitas di awal karirnya sebagai koreografer tari. Dan malahan Ery sempat sebentar menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Taman Budaya.

Diskusi Budaya dengan narasumber Ery Mefri dan Harris Effendi Thahar. (Foto Yurnaldi/ajardetik.com)
 

Di akhir diskusi, Ery dengan keras menyikapi pernyataan Kadis Kebudayaan Sumbar Jefrinal Arifin, yang meminta seniman paham dengan persoalan pembangunan Taman Budaya yang bukan di Dinas Kebudayaan, tapi di Dinas Bina Marga, Cipta Karya dan Tata Ruang (BMCKTR) Sumbar.

Termasuk menanggapi keluh kesah kadinas mengenai ketidak-adaan dana untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan di Dinas Kebudayaan, dan saat ini banyak bergantung kepada pokir dan DAK (Dana Alokasi Khusus) dari Kemendikbudristek.

“Kami harap Dinas Kebudayaan itu menjadi penyambung aspirasi seniman. Jangan bilang seniman itu tidak mengerti atau tidak paham. Kami ini sebagai anak, tentu tidak akan melawan orangtuanya,” tegas Ery, yang membuat suasana diskusi sedikit tegang.

Pernyataan kadinas itu ikut ditimpali oleh Presidium FPS Sumatera Barat lainnya Syarifuddin Arifin, yang menyatakan bahwa Tambud (Taman Budaya) merupakan rumah bagi para seniman. “Seniman lah pemakai Tambud. Tempat orang-orang ‘stres’,” kata penyair kaliber ASEAN ini berseloroh.

Gugatan seniman terhadap adanya rencana alih fungsi Taman Budaya, dikatakan Syarifuddin, dilakukan bukan dengan menggelar tenda di depan Gubernuran Sumbar, tetapi dengan mengadakan panggung kreavititas seni, dan diskusi-diskusi, sampai terbangunnya Zona B, atau gedung pertunjukan, yang sekarang mangkrak.

Kadis Kebudayaan Sumbar Jefrinal Arifin yang baru 3 minggu dilantik, bersama dengan Dalam pemaparannya, Prof Harris menawarkan kepada puluhan peserta diskusi yang hadir, yang terdiri dari para budayawan, seniman dan wartawan, untuk membentuk wadah permanen semisal Dewan Kesenian atau Dewan Kebudayaan baru yang independen, tanpa harus bergantung kepada pemerintah, kecuali menerima hibah, namun memiliki bargaining position (posisi tawar).

Dewan Kesenian atau Dewan Kebudayaan

Sementara itu Prof Dr Harris Effendi Thahar, mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB)  periode 2008-2011, mengatakan bahwa keberadaan FPS sudah sangat tepat. Tanpa FPS, siapa lagi yang peduli dengan keberlangsungan seni dan budaya di Ranah Bundo ini? DKSB sudah lama tenggelam, atau ditenggelamkan. Hari ini kepada FPS saya tawarkan sebuah pepatah lama: tertumbuk biduk dikelokkan, tertumbuk kata dipikiri,” ujarnya.

Apa pun model keorganisasian Dewan Kesenian atau Dewan Kebudayaan yang akan dibentuk, Prof Harris mempersilahkan FPS mendiskusikannya lebih lanjut.

Lanjut Prof Harris, karena menyebut Sumatera Barat tentulah bukan sekadar Kota Padang. “Saya berharap, FPS juga mengundang para seniman di lingkup Sumatera Barat, termasuk Kepulauan Mentawai tentunya,” tukasnya.

Mengenai Taman Budaya, Prof Harris yang sempat menikmati masa-masa jayanya, menyampaikan bahwa dulu Kepala Taman Budaya itu di penghujung tahun selalu mengundang seniman untuk berembuk, menyusun program Taman Budaya untuk setahun ke depan.

“Sekurang-kurangnya, ada sepuluh bulan dirancang kegiatan bulanan berupa pertunjukan seni, pameran, diskusi dan seminar yang dibiayai oleh anggaran Taman Budaya,” tuturnya.

“Taman Budaya tidak pernah sepi pada masa itu. Selain kegiatan terjadwal, sanggar-sanggar seni, semisal tari, teater, musik, baca puisi, lukis dan rupa, selalu hidup sepanjang hari,” tukuk Prof Harris.

Kemudian Prof Harris membandingkan dengan situasi sekarang dengan mangkraknya pembangunan gedung kebudayaan Zona B dan C di Taman Budaya Sumatera Barat.

“Tanpa disadari, sekarang terasa tidak terlihat regenerasi seniman di Sumatera Barat. Apakah disebabkan oleh dampak berubahnya suasana dan surutnya fungsi Taman Budaya, atau terbengkalainya pembangunan gedung kebudayaan itu?” tanya Prof Harris.

Saat ini, terasa adanya kehilangan ruh kreativitas berkesenian dan terputusnya regenerasi berkesinambungan di Taman Budaya.

Memang betul, kata Prof Harris lagi, Taman Budaya bukanlah tempat satu-satunya untuk berkarya. Namun, karya seni apa pun wujudnya, adalah hasil dari suatu proses yang intens pada tempat yang memberi ruang bagi tumbuhnya kreativitas.

Tidak ada suatu karya seni yang instan, karena, sebut Prof Harris, karya seni bukan keluaran pabrik, melainkan hasil kreasi dari seorang kreator yang memerlukan kecerdasan, perjuangan, ketabahan, bahkan kesabaran, yang akhirnya membuahkan sesuatu yang disebut sebagai hasil akhir (outcome).

“Untuk lebih terang, saya harus menjadikan Ery Mefri (Maestro Tari Minang ; Red) sebagai role model. Dalam proses yang dialaminya hingga sekarang tidak lah semulus yang kita bayangkan,” kata Prof Harris, sambil melihat ke Ery Mefri yang duduk bersamanya di depan.

Dengan pesatnya perkembangan zaman, masuk ke era digital, juga merambah ke bidang kesenian, dan Prof Harris mengusulkan perlunya silaturahmi seniman antar generasi. “Barangkali pencerahan itu akan lahir dari silaturahmi antar sesama seniman, termasuk dengan seniman antar generasi,” ucapnya.

Pada kesempatan diskusi budaya tersebut, turut hadir Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar Jefrinal Arifin yang baru 10 hari dilantik, didampingi Kepala UPT Taman Budaya dan Kepala UPT Museum, serta puluhan seniman, wartawan dan mahasiswa.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال