Puisi, Ruang Monumental Dalam Kehidupan



Analisis Puisi:

PUISI, RUANG MONUMENTAL dalam KEHIDUPAN:
Apresiasi atas Puisi-Puisi Itsnataini

Dr. Zurmailis, M.A.
Pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang


Pengantar

Apakah yang dapat kita catat dari perjalanan kehidupan kita yang pada dasarnya tidak terlalu panjang? Meskipun diwarnai beragam dinamika, ia mungkin hanya akan berlalu sebagai kenangan, atau bahkan akan membuhul dalam batin kita sebagai trauma, yang membekas begitu dalam, dan dapat mengubah cara pandang kita menghadapi dunia, atau yang membawa rasa gelisah tak berkesudahan. 
Kita mungkin menyimpan timbunan pengalaman dalam diri kita, yang pada suatu waktu dapat menjadi ledakan emosi dalam diri, bila tak tersalurkan dengan baik.  Menulis puisi dapat menjadi sebentuk penyaluran pengalaman emosional, moment-moment paling berkesan, atau ‘meluahkan’ tekanan yang tak mampu ditampung hati.  Bagi si penyair, terlepas dari pengaruh eksistensi dan popularitas yang mungkin akan menyertai pada langkah-langkah selanjutnya, puisi dapat menjadi saluran sekresi, mengeluarkan segala yang dapat meracuni jiwa bila dipendam dan mampat di jiwa. 

Pembahasan

Sebagaimana dikatakan W. Auden, bahwa‘puisi adalah ekspresi yang bening dan perasaan yang berbaur’, ketika mencoba memahami apa yang diuntai Itsnataini dalam puisinya, saya menemukan hal yang sama. Saya menemukan biografi penulisnya dalam puisi-puisi itu. Saya memahami rasa lengangnya, ketika pengalaman dalam tugas luhurnya sebagai paramedis, menjadi pengalaman estetis baginya, sebagaimana yang tergores dalam puisi ini: 

KESEDIHAN TAK BERTEPI
Bayangkan wajah mungil menari di pelupuk mata 
Menanti tuk diberikan ASI, ASAH, dan ASUH
Tapi…asa itu tak pernah dirasakan
Malah jerit tangis pilu yang terdengar
Pelukan hangat IBU tak didapatkan si kecil

Terdiam sejenak aku dalam renungan
Terbayang…tetesan keringat & air matamu IBU
mendamba tuk berikan hidup & kehidupan
Berjuang menghadapi maut
Demi kehadiran sang buah hati

Hati ini hancur berkeping-keping 
Rasa ini…perih tak terkira
Prihatin menghadapi ini semua
Manakala kudengar kabar duka itu
Satu persatu IBU berguguran

Apa yang harus kuperbuat?
Jeritan pilu rasanya tiada arti
Ke mana aku harus menyuarakan rasa ini
Wahai…para Ayah dan sang buah hati 
Dukamu adalah duka kami

Berteriakpun kusudah tak mampu
Badai di hati ini semakin deras
Kesedihanku rasanya tak bertepi
Menambah gelisah dan kegalauan hati
Kuterdiam terpaku tak bergeming

Pasrahku hanya padaMU ya Rabb
Kutahu pasti ini takdirMU
Dan…kutak boleh berdiam diri
Atas takdir yang menjemputmu IBU 
Kan kucari jalan tuk atasi dilema
Aku harus bangkit dari kehampaan
Bantu aku Ya Rabb……
Berikan aku mukjizatMU
Ulurkan tangan-tangan perkasaMU
Tuk selamatkan kaum IBU 

(Its, 20 April 2019) 

Pada bait pertama puisi ini, aku lirik bercerita tentang perasaannya setelah menyaksikan tragedi yang dialami sebagai ekspresi konkret, sebagaimana dikatakan C. Baudelaire bahwa karya sastra merupakan ekspresi konkret dan bersifat artistik yang berasal dari kehidupan manusia. Penyair menggambarkannya dengan: ‘Bayangkan wajah mungil menari di pelupuk mata’. Di sini ada pengalaman penyair, membayangkan kejadian kelahiran bayi mungil yang disaksikannya di tempat dia bekerja sebagai paramedis. Pada baris selanjutnya: ‘Menanti tuk diberikan ASI, ASAH, dan ASUH’. Bayi yang memerlukan asupan makanan, pengasuhan dan bimbingan dalam mengasah kemampuan. Harapan untuk dapat bertumbuh dari bayi yang tak berdaya dan memerlukan pengayoman ibunya. Pada baris selanjutnya: ‘Tapi…asa itu tak pernah dirasakan/Malah jerit tangis pilu yang terdengar/Pelukan hangat IBU tak didapatkan si kecil.’. Baris-baris  selanjutnya ini mengindikasikan bahwa harapan dan kebutuhan bayi yang baru dilahirkan itu tak akan dapat diwujudkan, karena sang Ibu sudah berpulang. Ada nada lirih dan nuansa kepedihan ketika harapan kandas sebelum perjalanan hidup sang bayi dimulai.  

Pada bait ke dua penyair menyatakan perasaannya, reaksinya, dan tanggapannya atas kondisi, pun perasaan seorang ibu yang dengan penuh harap menanti kelahiran buah hatinya. “Terdiam sejenak aku dalam renungan/Terbayang…tetesan keringat & air matamu IBU/ mendamba tuk berikan hidup & kehidupan/Berjuang menghadapi maut/Demi kehadiran sang buah hati”. Dan pada bait ke tiga, penyair dengan perasaan miris menyayangkan terjadinya kematian demi kematian yang terjadi saat proses kelahiran: “Hati ini hancur berkeping-keping /Rasa ini…perih tak terkira/Prihatin menghadapi ini semua/Manakala kudengar kabar duka itu/Satu persatu IBU berguguran”. 
Angka kematian dalam proses persalinan yang tinggi menjadi atensi penyair dalam menyuarakan problem yang terjadi di lingkungan kerjanya.  Di sini tampak bahwa penyair tak hanya dihanyutkan oleh perasaan semata, tapi juga menggugat dan mengkritik sistem yang ada.  Bahwa  kesehatan dan kondisi pascanatal mestinya menjadi perhatian penting bagi paramedis.
Sebagai bagian dari paramedis itu, dalam kebingungannya penyair berupaya mencari jalan. Ia merasa tak cukup hanya memberi empati dan merasakan duka yang sama dengan keluarga yang ditinggalkan. “Apa yang harus kuperbuat?/Jeritan pilu rasanya tiada arti/Ke mana aku harus menyuarakan rasa ini/Wahai…para Ayah dan sang buah hati /Dukamu adalah duka kami”. Internalisasi rasa duka, yang dinyatakan penyair, yang mampu merasakan apa yang dialami oleh orang lain merupakan bentuk empati yang dalam. Sebagaimana yang dikatakan Emily Dickinson tentang puisi. 

Puisi bagi Dickinson adalah: “jika saya membaca sebuah buku, dan buku itu membuat saya sedemikian menggigil hingga tiada api yang mampu menghangatkan, saya segera mengetahui yang saya baca adalah puisi. Ketika saya membaca secara fisik bahwa ubun-ubun saya dicomot, saya tahu itu adalah puisi”.  Dalam gigil yang demikianlah puisi itu diproduksi oleh penyair. Bagaimana dia menggambarkan apa yang dirasakannya menyaksikan peristiwa itu: “Berteriakpun kusudah tak mampu/Badai di hati ini semakin deras/Kesedihanku rasanya tak bertepi/Menambah gelisah dan kegalauan hati/Kuterdiam terpaku tak bergeming”.  Ia benar-benar kehilangan daya, kehilangan kemampuan penguasaan diri, terpaku dan tak mampu lagi bergerak. Nah….. bila efek yang dialami pembaca sama seperti bagaimana proses penciptaan karya, maka karya akan dianggap berhasil.

Ada relasi antara lingkungan sosial, kemanusiaan dan Tuhan yang digambarkan di sini sebagai mana yang ditampilkan penyair dalam bait terakhir: “Pasrahku hanya padaMU ya Rabb/Kutahu pasti ini takdirMU/Dan…kutak boleh berdiam diri/Atas takdir yang menjemputmu IBU/Kan kucari jalan tuk atasi dilemma/Aku harus bangkit dari kehampaan/Bantu aku Ya Rabb……/Berikan aku mukjizatMU/Ulurkan tangan-tangan perkasaMU/Tuk selamatkan kaum IBU. 

Ada upaya yang ingin dilakukan penyair atau bisa dikatakan si aku lirik dalam puisi untuk mengatasi keadaan. Penyair menyadari bahwa kuasa tertinggi ada dalam genggaman Tuhan, manusia tak berdaya bila tanpa berkah-Nya.  Maka dalam usaha yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi yang ada sebagai tenaga medis,  perbaikan kesehatan masyarakat menjadi tanggung jawab mereka. Melalui puisi ini ada semacam kesadaran, bahwa bekerja baginya bukan hanya menjalankan tugas harian dengan dingin, dan menerima imbalan tiap bulan, tapi pekerjaan memerlukan tanggung jawab, semua yang terlibat punya beban moral yang besar bukan hanya untuk menolong persalinan, tapi juga menyelamatkan hidup ibu dan anak. Puisi yang diselesaikan penulisannya pada 20 April 2019 ini mengajarkan bagaimana bekerja dengan hati.

Dalam puisi berikutnya yang saya pilih dari sejumlah puisi yang ada di kumpulan ini berjudul “Sajak Untukmu” bertanggal 8 Sept 2019, penyair memulai bait sajaknya dengan: “Sinar sang surya begitu cerah /Menyapaku awali hari nan indah/Tepat hari ini usiamu bertambah /Kutahu pasti hatimu membuncah”. Sajak ini dimulai dengan optimisme hidup yang diibaratkan seperti sinar surya pagi hari, bergayut keindahan dan harapan, bersama pertambahan usia.  Namun ada diksi yang ambigu ‘hatimu membuncah’, ini mengacu keriangan atau berkecamuknya persoalan kah? Apakah pertambahan usia menjadi problem ataukah akan membawa kedewasaan?

Pada bait selanjutnya: “Telah kaulalui setapak demi setapak/Dimana langkah demi langkahmu berpijak /Manakala kakimu menjejak/Dan waktupun tak terelak”.  Ada diksi yang menyangkut waktu, dan si aku lirik dalam sajak seakan menjadi saksi bagi perjalanan ‘kau’ ke arah mana langkahnya telah dijejakkan, mungkin juga ada yang ditinggalkan seiring ke mana langkahnya mengarah, apakah itu bukti yang mendatangkan rasa bangga atas kerja yang berguna, atau sebaliknya noktah yang sulit dihapuskah yang menjadi jejak perjalanannya.

Si aku lirik dalam puisi kemudian lebih menegaskan arah pandangannya, bagaimana hidup yang dijalani, dan bagaimana seharusnya perjalanan itu membekaskan jejak (trace): “Kaususuri jalan ikuti alur/Nukilan kisah di sisa umur/Torehkan sejarah hidup yang jujur/Senantiasa terselip kilasan nur. Puisi ini sebagaimana dinyatakan Shahnon Ahmad: “mengandung emosi, imajinasi, ide, nada, irama, kesan panca indra, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Ia merupakan rekaman pengalaman manusia yang penting, dan digubah dalam bentuk yang paling berkesan. Penyair telah menentukan titik penting pengamatannya, berkait dengan representasi perjalanan hidup manusia pada umumnya, yang dinukilkan menjadi semacam kesaksian atas perjalanan seorang sahabat.

Penyair telah merekam peristiwa yang terjadi di sekelilingnya, seperti sebuah prisma, yang menyerap beragam warna di sekelilingnya, dan membiaskan kembali determinasi eksternal itu dalam hukum-hukum sastra. Dan melaluinya penyair menunjukkan sikap dalam menanggapi apa yang dipantulkan prisma itu, “Aku hanya ingin kautahu sahabat /Semakin hari waktu semakin dekat /Kita hanya menunggu saat yang tepat /Banyak-banyaklah berbuat”.  Penyair bukan hanya menjadi saksi, tapi baginya, perjalanan kehidupan yang ditandai oleh moment kelahiran, sekaligus menjadi moment pengingat diri, jejak baik apa yang telah ditinggalkan sepanjang perjalanan yang telah dilampaui. Puisi ini adalah moment introspeksi, bukan hanya bagi penyair atau kepada siapa secara khusus puisi ini dialamatkan, tapi bagi semua yang dapat menjangkau karyanya, “Di hari yang begitu bermakna bagimu /Kukirimkan sajak ini untukmu  /Untaian doa kupanjatkan tak jemu /Semoga berkah senantiasa usiamu”

Bagi C. Baudelaire puisi sebagai karya sastra merupakan ekspresi konkret dan bersifat artistik yang berasal dari kehidupan manusia. Sebagaimana Atar Semi yang juga menyimpulkan tentang puisi yang menurutnya dapat diumpamakan sebagai suatu pernyataan yang menyenangkan, yang muncul dari suatu kemampuan, penyair melihat sesuatu dengan antusias dengan jurus yang tepat. Pada puisi selanjutnya yang berjudul “Kejujuran” tertanggal 14 April 2020, pandangan Baudelaire dan Semi itu dapat terlihat.
 
Itsnataini dapat mengekspresikan kebenaran yang diyakini dalam bait–bait puisinya:“KEJUJURAN bukan imajinasi diri /Nilai sebuah tatanan naluri /Putih bersih tanpa coretan jemari /Tak berharap suara hati dikebiri”. Kejujuran baginya adalah kebebasan, sesuatu yang given, naluriah dan tanpa campur tangan dari yang bukan ilahiyah, dan bagaimana kita dapat dengan terbuka menyampaikan suara hati. Tak ada pengaruh kultur ataupun nurture, tak ada yang dikontruksi dalam kejujuran, namun arahnya bukan sebagaimana kaum liberal menyimpulkan mengenai kejujuran dan kebenaran, yang mengikat bagi penyair ini adalah kedekatan kita dengan kebenaran Tuhan. 

Pada bait selanjutnya, penyair menyatakan: “KEJUJURAN jangan jadi perhiasan /Sebatas retorika sebatas kiasan  /Dari bibir manis penuh riasan /Apalagi sebatas pajangan hiasan”. Ada nada intruktif dalam puisi itu, dan seperti yang dikatakan Spencer, ada bentuk pengucapan yang emosional meski tetap dengan mempertimbangkan efek keindahan.“KEJUJURAN jangan dibelenggu /Dalam ruang apalagi waktu tunggu /Mulut terkunci jangan sampai gagu /Apalagi berteriak sampai tergugu”. 

Bagi penyair, kejujuran mesti disuarakan, diksi yang dipilih seperti ‘belenggu’, ‘waktu tunggu’, ‘gagu’, ‘tergugu’, merupakan kosa kata yang mengindikasikan tentang ketakbebasan, keterhambatan, dan ketakmampuan meneriakkan dengan suara lantang. Kata ‘jangan’ menegaskan supaya hal-hal yang menjauhkan sikap dari tindakan menyuarakan kejujuran itu dapat dihindari. Pernyataan Slamet Mulyana yang menyebut puisi sebagai kata berjiwa, kata-kata yang digunakan para penyair, yang maknanya tak sama dengan bahasa kamus. Sintesis dari berbagai peristiwa, yang tersaring semurni-murninya dari berbagai proses jiwa yang mencari hakikat pengalaman dan tersusun dalam suatu sistem korespondensi dalam salah satu bentuk, dapat dilihat sebagai pernyataan yang terekspresikan dalam puisi ini.  Penyair menunjukkan proses jiwa itu, dan membangun hipogram/matrix persepsi mengenai pilihan moral yang didukungnya dengan keyakinan, setelah melalui pengalaman yang mengantarkannya pada simpulan, apa yang akan menjadi arah tujuan, dalam pencarian hakikat sebagai manusia. 

“KEJUJURAN seuntai kisah kepingan /Tak luput dari sebuah renungan /Nikmatpun tiada tandingan /Jangan lenyap jadi bayangan”.  Kejujuran dalam pandangan penyair dapat dilihat sebagai kepingan kisah yang kemudian jadi substansial, karena lahir dari renungan, yang diyakini membawa kebenaran dan kebaikan, yang harus dipertahankan, sehingga tak hanya menjadi sekedar fantasi yang hidup dalam imajinasi, tak hanya jadi sekedar bayangan.  Ia harus selalu hadir dalam setiap gerak kehidupan: “KEJUJURAN teruslah hadir /Tabur kebaikan bagaikan mata air /Seindah gemericik air mengalir /Seharum wangi bunga anyelir”.  Penyair menggambarkan kejujuran dengan imaji tentang kesejukan, Hudson melihat bagaimaan penyair menggunakan kata-kata sebagai media penyampai untuk membuahkan ilusi dan imajinasi. Imaji tentang kenyamanan dan keindahan itulah yang dikemukakan, seharum anyelir, sesejuk air yang mengalir, bila kejujuran dapat hidup dalam keseharian kita. 

Penutup

Ada beberapa karya Itsnataini yang tak hanya menunjukkan relasi penyairnya dengan lingkungan sekitar, namun juga berkenaan dengan pengalaman dalam keluarga, seperti dalam puisi “Mengenangmu” yang mengisahkan rasa kehilangan ketika putranya berpulang, atau dalam puisi “Keluarga” yang menggambarkan betapa keluarga menjadi ruang paling teduh yang tak tergantikan oleh luasnya pergaulan, dan tak tergantikan pula oleh besarnya penghasilan. Melalui karya sastra yang dihasilkan, dengan bahasa yang singkat, dipadatkan, dan diberi irama dengan bunyi yang padu, dengan pemilihan kata yang imajinatif, kita dapat mengarungi pengalaman hidup penyair di satu sisi, dan pada umumnya menjadi pengalaman hidup semua manusia. 

Dresden, dalam pandangannya mengenai puisi mengatakannya sebagai sebuah dunia dalam kata, isi yang terkandung dalam puisi merupakan cerminan pengalaman, pengetahuan, dan perasaan penyair yang membentuk sebuah dunia. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa puisi adalah ruang monumental dalam kehidupan. Dunia yang menjadi ciptaan penyair, sebuah dunia kata-kata. 

Tanah Ombak, Padang.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال