DPR RI Jangan Menjadi Lembaga Stempel Pemerintah



Oleh YURNALDI
Pemimpin Redaksi AjarDetik.com

Pada akhir tahun 2022 lalu, pada saat orang sibuk dan padat dengan berbagai kegiatan, kesempatan itu dimanfaatkan Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, pada 30 Desember 2022. 

Saking pintarnya mencari waktu, sehingga Perppu yang berisi 1.117 halaman dan 186 pasal ini tidak banyak yang menanggapi. Memang Perppu ini dinilai pemerintah mendesak, karena sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat, tidak sesuai konstitusi dan perlu direvisi sesuai syarat tertentu.

Ironik, UU Cipta Kerja bukan direvisi, diperbaiki sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi persiden malah menerbitkan Perppu. Itu artinya, penerbitan Perppu ini menunjukkan adanya upaya melanggar putusan Mahkamah Konstitusi.

Kehadiran Perppu tersebut tentu saja  menggugurkan UU Cipta Kerja yang dinilai  pemerintah memengaruhi prilaku dunia usaha di dalam dan luar negeri. Sebaliknya, kehadiran Perppu dinilai  sejumlah organisasi serikat buruh merugikan pekerja. Jadi, Perppu bukannya menyelesaikan masalah. Akan tetapi, kembali menimbulkan masalah baru.

Yang menarik seperti dilaporkan The Conversation, bukan masalah pro-kontra isi yang terkandung dalam Perppu Cipta Kerja, tetapi proses yang ditempuh Presiden Jokowi juga dinilai pakar hukum sebagai  inkonstitusional dan menunjukkan kuatnya karakteristik otoritarianisme pemerintah. Alasan pemerintah akan ketidakpastian ekonomi global yang melandasi penerbitan Perppu ini cenderung tidak masuk akal.

Sebab, seperti yang dinyatakan Pasal 22 UUD 1945, sebuah Perppu hanya bisa diterbitkan apabila kegentingan memaksa. Berdasarkan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, ada tiga syarat untuk memenuhi ihwal “kegentingan memaksa”, yaitu (1) ada masalah hukum yang mendesak dan butuh ditangani segera mungkin, (2) ada hukum tetapi tidak menyelesaikan masalah atau masih menimbulkan kekosongan hukum, dan (3) butuh proses yang cepat untuk menghasilkan produk hukum.

Sebenarnya, menurut pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari, tidak ada hal mendesak secara ekonomi dalam konteks masyarakat secara umum. Upaya konstitusional yang diambil pemerintah ini jelas membodohi publik.  Fakta ini, memungkinkan publik atau pihak yang merasa kurang puas untuk menggugat Perppu Cipta Kerja  ini ke Mahkamah Konstitusi atau ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan bisa dilakukan dari segi proses administrasi pembentukkan Perppunya hingga materi muatannya. 
Kenapa perlu digugat? Karena Perppu Cipta Kerja ini bukan hanya melahirkan kembali isi dari UU Cipta Kerja yang bermasalah dan melanggar hak-hak pekerja, tetapi juga terang-terangan menunjukkan praktik buruk pemerintah yang abaikan konstitusi. Ini bukti karakteristik otoritarianisme.

Apa yang ditegaskan Menkopolhukkam Mahfud MD, bahwa Perppu itu hak subjektif presiden, tentu tak patut pula diutarakan. Sebagai negara hukum, tentu harus ada ukurannya, yaitu konstitusi. Subjektivitas seorang presiden tidak bisa dijadikan dasar utama dalam mengambil keputusan kebijakan. Jika terjadi, ini jadinya seperti titah raja, tidak lagi mencerminkan negara hukum.

Dengan begini, Presiden Jokowi seakan mengambil jalan pintas untuk menghindari pembahasan politik guna mengakomodasi kepentingan pengusaha semata. Ini sama saja dengan pembajakan demokrasi.

Kita juga tidak tahu bagaimana sikap wakil rakyat di DPR RI, apakah Perppu Cipta Kerja ini akan disetujui atau ditolak. Jika Perrpu disetujui DPR, maka Perppu akan berlaku sebagai UU. Jika ditolak, maka akan kembali ke peraturan awal, yang berarti pemerintah dan DPR harus tetap merevisi UU Cipta Kerja sebagaimana putusan MK.

Menurut hemat saya, DPR sudah seharusnya menolak Perppu Cipta Kerja ini jika lembaga legislatif tersebut masih mau dianggap paham demokrasi dan menjunjung prinsip negara hukum. Karena proses penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh pemerintah juga mengindikasikan bahwa pemerintah telah mengabaikan fungsi legislatif DPR RI.  Ini karena putusan MK adalah memperbaiki (revisi) UU Cipta Kerja, sedangkan merevisi UU tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri, melainkan harus bersama DPR.

Menurut Jamiluddin Ritongga, dosen Kominukasi Politik Universitas Esa Unggul, DPR seharusnya berhak kesal atas langkah pemerintah menerbitkan Perppu itu karena dalam prosesnya, sama saja pemerintah tidak menganggap penting keberadaan DPR untuk memperbaiki UU Cipta Kerja bersama-sama.

Idealnya, DPR bisa menolak Perppu tersebut dan memosisikan dirinya setara dengan presiden dalam kedudukan konstitusi, todak boleh hanya menjadi lembaga stempel Pemerintah.

Nah, lho!
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال