Ayo, Nikmati Pesona Warisan Dunia dan “Galanggang Arang”

 

 Pertunjukan Seni Tradisi Minangkabau oleh kelompok kesenian Nagari Kacang

 

Oleh YURNALDI

Wartawan Utama, Penulis, Pendiri dan Ketua Pertama Forum Wartawan Pariwisata Sumatera Barat

 

Tiba-tiba Aura Nabila, mahasiswi semester akhir jurusan komunikasi, FISIP Universitas Andalas, dan mamanya – Rozalina mendadak ingin ke Kota Sawahlunto. Soalnya, Senin (27/11/2023) pagi cuaca begitu cerah dan bagus untuk berwisata. Kota yang di tahun 70-an dikenal dengan julukan “Kota Kuali”, berjarak 95 km sebelah timur laut Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat, sepekan terakhir ramai diberitakan dan disebut-sebut dalam event Galanggang Arang.

            “Apalagi, 25-26 November kemarin diundang menghadiri Galanggang Arang di Stasiun Kereta Api Kacang, Kecamatan 10 Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Ini untuk kedua kalinya aktivasi budaya di lintasan kereta api Sawahlunto-Padang yang menjadi bagian Situs Warisan Dunia, setelah sebelumnya Galanggang Arang di Batutaba, Kabupaten Tanahdatar,” jelas Aura Nabila.

            Nagari Kacang, Kabupaten Solok, berada di tepian Danau Singkarak (luas 107,8 km per segi) dan dilintasi jalur kereta api dari Sawahlunto – Padang, jalur angkutan batubara sejak zaman kolonial Belanda. Bapak dan kakek Aura Nabila berasal dari Nagari Kacang.

 

Pertunjukan Seni Tradisi Minangkabau oleh kelompok kesenian Nagari Kacang. (Foto  Metri Hasan)

            Bagi Aura Nabila, Kota Sawahlunto sangat berarti. Karena kakek dari bapaknya bernama Lana, adalah pegawai Tambang Batubara Ombilin di masa penjajahan Belanda di bagian Menara, Kota Sawahlunto. Lana yang kelahiran 1898, meninggal dalam usia 99 tahun di rumah kakek Aura di Kota Solok. Menara setinggi lebih dari 75 meter tersebut sampai kini masih berdiri kokoh dan menjadi sirine pengingat waktu di Kota Sawahlunto. Menara yang berdiri di Kelurahan Kubang Sirakuak Utara tersebut telah menjadi bagian dari Masjid Agung Nurul Islam, masjid yang berada di tengah kota dan berjarak sekira 150 meter dari Museum Kereta Api Sawahlunto.

   


Menara Masjid setinggi lebih 75 meter. (Foto Yurnaldi)

 “Rumah tua Lana di Kubang Sirakuak, adalah tempat peristirahatan keluarga jika kami ke Kota Sawahlunto,” jelas Rozalina pula, yang bersuamikan Paduka Raja, cucu Lana. Sementara istri Lana, Akam, semasa hidupnya di zaman Belanda hingga pascakemerdekaan RI, dikenal sebagai penjual lemang pisang dan lemang tapai paling enak dan dicari di Pasar Sawahlunto. Sampai sekarang, generasi tua di Pasar Sawahlunto masih ingat nama Akam yang bersuamikan Lana, si petugas menara.

            Bagi Aura dan Rozalina, ke Sawahlunto selain mengunjungi rumah tua Akam dan Lana untuk kali yang ke sekian, juga menikmati keindahan kota warisan dunia dengan potensi pariwisatanya yang luar biasa.

“Sawahlunto adalah kota satu-satunya di Indonesia yang menggabungkan antara ilmu teknik pertambagan bangsa Eropa dengan kearifan lingkungan lokal, praktik tradisional, dan nilai-nilai budaya dalam kegiatan penambangan batubara yang dimiliki oleh masyarakat Sumatera Barat,” jelas Aura, yang setamat kuliah nanti ingin bekerja jadi PR (Public Relation).

             Dulu, kata Rozalina yang asal Palembang ini, dalam pelajaran IPS di sekolah dasar, hanya satu kota yang dikenal sebagai kota penghasil batubara di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, yakni Ombilin, Kota Sawahlunto.

“Setelah menikah dengan Paduka Raja tahun 1997, baru saya bisa melihat dan menikmati langsung keindahan Kota Sawahlunto, yang berjuluk ‘Hongkong Waktu Malam’ dan telah menjadi Warisan Dunia sejak 2019 ini. Dan sejak 26 tahun terakhir, kami menikmati pertumbuhan dan perkembangan Kota Sawahlunto dari tahun ke tahun,” jelasnya.

            Berada di Sawahlunto, Aura dan keluarga mengunjungi Museum Kereta Api, bekas Stasiun Kereta Api yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1894. Bangunan yang masih kokoh itu telah menjadi saksi bisu kekejaman Pemerintah Kolonial Belanda dalam mengeksploitasi “si mutiara hitam” dari perut bumi Sawahlunto.

Di Museum Kereta  Api ini masih bisa disaksikan keberadaan lokomotif uap, yang lebih dikenal dengan sebutan Mak Itam, yang masa itu dipilih Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengangkut batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Teluk Bayur (Emma Haven).

 

Museum Kereta Api. (Foto Yurnaldi)

             Berbagai informasi serta literatur tentang lokomotif uap dan kisah Orang Rantai dapat ditemukan di museum yang berada di belakang Pasar Sawahlunto ini. Juga dapat disaksikan berbagai macam peralatan perkeretaapian yang digunakan oleh perusahaan ketera api Pemerintah Kolonial Belanda yang sudah berumur 100 tahun lebih.

            Kemudian, mengunjungi Museum Situs Lubang Tambang Mbah Soero. Museum ini merupakan salah satu cagar budaya yang ada di Kota Sawahlunto, yang dahulunya adalah Lubang Tambang Batubara Soegar (Mond Mijn Soegar) yang dibuka Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1898 sebagai ventilasi lubang Lunto II.

            Pengunjung bisa menikmati sensasi memasuki lubang tambang batubara dengan kedalaman 22 meter dan panjang yang dibuka untuk wisaja 145 meter.

            Tak Jauh dari Lubang Mbah Soero, wisatawan bisa menikmati kawasan Museum Goedang Ransoem. Museum ini dulunya merupakan dapur umum yang dibangun Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1918 untuk menyuplai makanan bagi para pekerja tambang batubara dan pasien rumah sakit.

            Yang menarik di Goedang Ransoem ini adalah sudah ada kemajuan teknologi dalam sistem memasak berskala besar dan hadir di Sawahlunto sejak awal abad ke-20, bahkan yang pertama di Indonesia. Berbagai macam warisan budaya juga ditampilkan dalam galeri etnografi. Beragam bentuk tradisi, pakaian, makanan serta gaya hidup masyarakat Sawahlunto tempo dulu yang penuh dengan keunikan.

            Juga menyempatkan berkunjung ke obyek wisata alam Puncak Polan dan Puncak Cemara, dua tempat ketinggin yang bisa melihat pusat keramaian Kota Sawahlunto.

 

Puncak Polan. (Foto, dok Yurnaldi)

Bersejarah, tapi Miskin

            Kota Sawahlunto dengan Tambang Batubara Ombilin, adalah kota bersejarah di dunia pertambangan dan juga di dunia perkeretaapian. Kenapa tidak, sejak ditemukannya deposit batubara di cekungan Ombilin tahun 1868, dan berproduksi hingga tahun 1990-an, Sawahlunto dikenal sebagai salah satu daerah kaya di Provinsi Sumatera Barat. Penduduknya “mandi uang” dan kotanya terang benderang, melebihi terangnya kota-kota lain di Sumatera Barat khususnya dan pulau Sumatera umumnya. Pasalnya, Ombilin mempunyai Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 2 x 100 MegaWatt.

            Hingga masa akhir abad ke-19 sampai masa-masa awal abad ke-20, Kota Sawahlunto dengan keberadaan Tambang Batubara Ombilin, geliat pertukaran informasi dan teknologi lokal dengan teknologi Eropa terkait dengan eksploitasi batubara di dunia, khususnya Asia Tenggara, begitu kentara dan menjadi kota industri pertambangan batubara satu-satunya.

“Ada pertukaran penting dalam nilai-nilai kemanusiaan sepanjang masa atau dalam lingkup kawasan budaya, dalam perkembangan arsitektur dan teknologi, seni monumental, perencanaan kota dan desain lanskap. Inilah yang menjadi nilai universal luar biasa,” kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kubudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, saat Tambang Batubara Ombilin ditetapkan sebagai Warisan Dunia, 6 Juli 2019 lalu, dalam gelaran sesi ke-43 Pertemuan Komite Warisan Budaya Dunia di Kota Baku, Azerbaijan.

 

Kantor Peninggalan Zaman Belanda yang pascakemerdekaan menjadi Kantor Unit Pertambangan Ombilin. (Foto Yurnaldi)

 Hal lain yang menjadi keunggulan Tambanng Batubara Ombilin sebagai Warisan Dunia adalah tipe bangunan, karya arsitektur dan kombinasi teknologi atau lanskap yang menggambarkan tahapan penting dalam sejarah manusia. Dalam hal ini, keunikan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto menunjukkan contoh rangkaian kombinasi teknologi, dalam suatu lanskap kota pertambangan yang dirancang untuk efisiensi sejak tahap ekstraksi batubara, pengolahan, dan transportasi, sebagaimana yang ditunjukkan dalam organisasi perusahaan, pembagian kerja, sekolah pertambangan, dan penataan kota pertambangan yang dihuni sekitar 7.000 penduduk.

“Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto dipandang pantas diposisikan sebagai warisan dunia karena konsep tiga serangkai yang dicetuskan oleh Pemerintah Belanda pada masa itu. Tiga serangkai meliputi industri pertambangan batubara Ombilin di Sawahlunto, yang selanjutnya dibawa keluar Sawahlunto dengan menggunakan transportasi kereta api melalui wilayah Sumatera Barat; meliputi Kota Solok, Kabupaten Solok, Kabupaten Tanahdatar, Kota Padangpanjang, Kabupaten Padangpariaman, sampai ke Pelabuhan Emma Haven (Telukbayur) di Kota Padang,” jelas Hilmar Farid (kemendikbud.go.id, diunduh 26/11/2023).

Warisan Dunia Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto yang menjadi Warisan Dunia kesembilan yang dimiliki Indonesia, setelah  Kompleks Candi Borobudur (1991), Kompleks Candi Prambanan (1991) Taman Nasional Ujung Kulon (1991), Taman Nasional Komodo (1991),  Situs Manusia Purba Sangiran (1996), Taman Nasional Lorentz(1999), Hutan Hujan Tropis Sumatera (2004), dan Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak sebagai Manifestasi dari Tri Hita Karana (2012), menurut Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, kala itu, perlu sama-ama kita pelihara dan kita jaga untuk mendatangkan kebaikan bersama.

“Dengan adanya Warisan Dunia di Sumatera Barat, ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui sektor pariwisata berkelanjutan,” kata Irwan Prayitno, kepada pers di Padang, 7 Juli 2019 lalu.

Senada dengan itu, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Prof. Dr. Arief Rachman mengatakan, penetapan status Warisan Dunia bukanlah tujuan utama dari diplomasi budaya kita. Melalui pengakuan internasional ini, Indonesia harus dapat memastikan indentifikasi, perlindungan, konservasi dan transmisi nilai-nilai luhur warisan bangsa dapat terjadi dan berkelanjutan dari generasi ke generasi. “Selain perlindungan dan edukasi, status warisan dunia sudah seyogyanya juga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendatangkan manfaat ekonomi,” kata Arief Rachman.

Deri Asta ketika menjadi Wali Kota Sawahlunto pernah menegaskan, komitmen Pemerintah Kota Sawahlunto untuk melestarikan Warisan Dunia Tambang Batubara Ombilin dengan segala dukungan kebijakan dan infrastruktur yang memadai.

 

Kota Sawahlunto, kota tambang batubara yang sejak 2019 ditetapkan UNESCO sebagai Warisa Dunia. (Foto Yurnaldi)

             Karena perjuangan untuk mewujudkan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto sebagai Warisan Dunia tidak mudah, maka sudah seharusnya kepala daerah tujuh kabupaten/kota yang tercakup dalam kawasan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto, rutin mengagendakan pertemuan untuk membahas peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

            Empat tahun setelah ditetapkannya Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto sebagai Warisan Budaya Dunia ke-5 milik Indonesia, selain Kawasan Candi Borobudur di Magelang, Kawasan Candi Prambana di Klaten, Situs Manusia Purba Sangiran di Sragen dan Karanganyar, dan Sistem Pemerataan Pembagian Air (Subak) untuk Pertanian di Bali, sejauh pemantauan penulis, Pemerintah Kota Sawahlunto belum bisa berbuat banyak.

            Kota yang terdiri dari 4 kecamatan, 10 kelurahan dan 27 desa ini dan berpenduduk 62.524 jiwa (Data BPS Kota Sawahlunto, 2019) masih memiliki persentase penduduk miskin sebesar 2,28 persen (BPS Sawahlunto, 2022), atas sebanyak 1.425 penduduk miskin.

            Bahkan, Kota Sawahlunto yang berjuluk Kota Wisata Tambang Berbudaya ini, dan tertua di Asia Tenggara, dengan Pendapatan Asli Daerah Rp51,475 miliar (2021) dan Pendapatan Daerah Rp598.439 miliar ini, dikabarkan mengalami defisit tahun 2023 ini.

            “Ya, sangat mengkhawatirkan sekali kondisi keuangan Pemerintah Kota Sawahlunto. Mungkin defisit tahun 2023 ini,” kata Camat Barangin, Subandi Arpan, Sabtu pekan lalu.

 

Wisatawan keluar dari Lubang Tambang Mbah Soero. (Foto Yurnaldi)

Galanggang Arang, Menghidupan Ekonomi Masyarakat

                Empat tahun pasca ditetapkannya Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) sebagai Warisan Dunia, memang belum memberikan dampak yang cukup berarti bagi Kota Sawahlunto, khususnya untuk peningkatan kesejahteraan warga Kota Sawahlunto dan Sumatera Barat umumnya.

Kota berbasis smartcity dalam peningkatan kualitas pelayanan publik dan daya tarik investor ini, perlu sebuah terobosan bagaimana mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga.

Ketika kegiatan budaya perhelatan “Anak Nagari Merayakan Warisan Dunia” bertajuk Galanggang Arang diluncurkan Kamis, 19 Oktober 2023, di Ruang Cipta Kreatif Fabriek Bloc Padang, pertanda dimulai rangkaian mengaktivasi WTBOS, terbersit harapan untuk memaknai Warisan Dunia dan diharapkan bisa berdampak positif bagi kemajuan industri pariwisata dan budaya di Sumatera Barat, khususnya tujuk kabupaten/kota yang menjadi bagian Warisan Dunia WTBOS.

 Dihadiri Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek, dan tujuh kepala daerah yang masuk penyangga utama WTBOS, wali-wali nagari, ninik mamak, bundo kandung, seniman dan budayawan, perusahaan perkeretaapian, pertambangan batu bara dan lainnya, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansyarullah mengatakan, “Ini merupakan aktivasi budaya pertama kali kita gelar semenjak WTBOS ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh Unesco pada tahun 2019. Pengawalan ini kita sebut ‘Kick Off’. Kegiatannya diberi nama ‘Galanggang Arang WTBOS’ dengan variasi-variasi peristiwa budaya digelar hingga akhir tahun 2023 ini,” katanya.

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III Provinsi Sumatra Barat, Undri, saat temu media di Fabrik Bloc, Rabu 18 Oktober 2023, mengatakan, “Dalam jangka menengahnya, penguatan ekosistem WTBOS direncanakan 3 tahun ke depan. Pagelaran ‘Galanggang Arang WTBOS’ merupakan satu tahap mambangun kesadaran di tengah masyarakat Sumatra Barat, terutama masyarakat dan anak-anak nagari yang berada dalam jalur dan lintasan kereta api WTBOS, bahwa kita punya warisan budaya dunia yang mahapenting untuk dijaga dan dilestarikan. Selain itu, juga sebagai bentuk daya gugah bahwa Warisan Dunia ini bukan semata milik satu kota atau daerah saja tapi sudah jadi milik bangsa Indonesia, malah masyarakat dunia.”

Undri berharap ‘Gelanggang Arang WTBOS’ menggugah kesadaran semua pihak dan masyarakat luas sebagai milik kita bersama. “Kita punya warisan budaya dunia yang sangat berharga. Dan itu ada di depan kita bersama. Mari kita jaga dan rawat, serta lestarikan. Ini makna dari awal aktivasi WTBOS ini,” tandasnya.

 

Karnaval di Kota Sawahlunto, salah satu event yang bisa mendatangkan wisatawan. (Foto Yurnaldi)

Budayawan Edy Utama, Koordinator Kurator Galanggang Arang WTBOS menjelaskan, Gelanggang Arang yang dilaksanakan di sejumlah titik di jalur kereta api adalah langkah awal untuk mengaktivasi aktivitas sosial, ingatan kolektif publik, untuk menyatukan sekaligus merayakan keragaman budaya di sepanjang jalur kereta api WTBOS dengan tajuk “Anak Nagari Merayakan Warisan Dunia”.

Tajuk “Anak Nagari Merayakan Warisan Dunia” dalam Galanggang Arang WTBOS ini, menurut Edy Utama, dikesankan sebagai konsepsi menjalin kembali ingatan kolektif sosial masyarakat Sumatra Barat atau Minangkabau terhadap sebuah situs penting warisan budaya pertambangan batubara di kawasan Sawahlunto yang di eranya sarat dengan penggunaan teknologi modern dan ilmu pengetahuan.

“Kondisi ini berpengaruh terhadap interaksi sosial dan budaya masyarakat tempatan. Setelah tidak lagi jadi kawasan tambang yang produktif, dan ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia, perlu kiranya aktivasi kultural dan revitalisasi properti WTBOS agar ia tak menjadi rongsokan. Ini kerja bersama-sama, bukan sektoral. Iven Galanggang Arang cuma salah satu bagian dari rangakain panjang rentang program 3 tahun ke depan,” jelas Edy Utama.

 

Edy Utama, Koordinator Kurator Galanggang Arang WTBOS.(Foto: dok Edy Utama)

Kurator “Gelanggang Arang” Donny Eros menambahkan, Gelanggang Arang bertujuan untuk menghidupkan semangat menggali berbagai potensi alam dan budaya pada warisan ini melalui berbagai perayaan budaya anak nagari, pameran, seminar, musyawarah dan media seni budaya lainnya yang berbasis kreativitas yang terinspirasi dari properti-properti WTBOS .

Rangkaian kegiatan Galanggang Arang menurut kurator Mahatma Muhammad, berlangsung hingga Desember 2023, akan diisi dengan upaya-upaya penjenamaan WTBOS dengan kegiatan multiseni dan penguatan di media massa dan media sosial.

“Pengisian konten Gelanggang Arang itu antara lain, meluncurkan situs portal Ombilin Haritage, akun resmi media  sosial, dan lainnya yang disebut sebagai ‘Kaba Baro’, pameran rupa dan media batu, instalasi (Kaba Rupa), kolaborasi musik (Kaba Buni), dan Festival Permainan Anak Galanggang Arang, dan ada juga jelajah motor tua di sepanjang jalur kereta api WTBOS,” jelas Mahatma Muhammad.

            Edy Utama berpendapat, kegiatan Galanggang Arang WTBOS ini sangat memungkinkan merevitalisasi properti dan stasiun-stasiun kereta api yang jadi ruang persinggahan “Mak Itam” ini menjadi ekonomi budaya.

            “Ada beberapa titik pemberhentian kereta api atau stasiun yang kini masih terperlihara tapi tidak aktif lagi. Stasiun-stasiun itu merupakan ruang publik yang semasa kereta api sebagai transportasi massal di Sumatra Barat, cukup ramai dengan aktivitas sosial dan ekonomi. Saat jayanya kereta api, kontribusi ekonominya cukup signifikan dan ini juga berdampak pada kehidupan sosial dan budaya masyarakat,” papar Edy Utama.

            Pada Galanggang Arang ini, lanjut Edy Utama, aktivasi stasiun-stasiun kereta api itu dengan membangun kembali memori kolektif masyarakat dengan peristiwa-peristiwa budaya. Masing-masing stasiun memiliki khas budaya dan sosialnya. “Kita coba aktifkan dengan kekhasan masing-masing. Stasiun Padang Panjang dan Pitalah Bungo Tanjung dengan jenama makanan khas masyarakat katupek pitalah, buah-buahan, dan lainnya. Demikian juga dengan stasiun Kayu Tanam, Kacang, dan lainnya. Pada simpul-simpul itu akan diaktivasikan berbagai penampilan seni,” katanya.

            Sedangkan pada pembukaan Galanggang Arang Sawahlunto akan ditampilkan salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Salahlunto, yakni Talempong Batuang, dilanjutkan dengan pertunjukkan musisi perempuan yang tergabung dalam kelompok Srikandi. Kemudian ada kolaborasi musisi multietnik. Terakhir adalah sebuah pertunjukkan yang berjudul “Piring Bernyanyi: Migrasi Perempuan dari Dapur ke Ruang Tamu”, yang menggabungkan berbagai elemen seni ke dalam ruang pertunjukan.

 

Pemanfaatan atribut Ombilian Coal Mining Heritage of Sawahlunto. (Foto Yurnaldi)

Program Hingga 2025

Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek, Irini Dewi Wanti mengatakan, sebagai upaya melakukan pelestarian WTBOS, telah disusun  rencana strategis dan peta jalan penguatan ekosistem WTBOS untuk tiga tahun ke depan (2023-2025). “Tahun 2023 ini langkah awalnya dimulai peluncuran Galanggang Arang WTBOS,” ujarnya.

Ia menjelaskan, di tahun 2023 ini dilakukan inventarisasi potensi, membangun dan menyusun narasi, serta aktivasi ekosistem budaya melalui rangkaian perhelatan budaya yang dilaksanakan pada 7 kota-kabupaten di Sumatra Barat.

“Penguatan  ekosistem dengan melakukan aktivasi budaya di WTBOS diwujudkan dengan kegiatan “Galanggang Arang: Anak Nagari Merayakan Warisan Budaya Dunia”. Iven budaya ini dimaknai sebagai gerakan menghidupkan semangat menggali beragam potensi yang terpendam selama ini. Spiritnya ialah merevitalisasi potensi WTBOS,” katanya.

            Ia berharap, kegiatan ini menjadi wadah gotong-royong dan kerja kolaboratif segenap   pemangku kepentingan, dan tentu saja komitmen tujuh kepala daerah untuk lebih aktif berperan dalam pengembangan dan memelihara WTBOS agar tercipta kesejahteraan masyarakat.

Kesepakatan Galanggang Arang.

Objek Warisan Dunia UNESCO. (Foto Yurnaldi)

 

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال