PADANG, AjarDetik.com -- Pejabat Kementerian Kesehatan Indonesia pada Desember 2022 lalu memperkirakan 8-10 persen dari populasi Indonesia atau sekitar 27 juta orang, mungkin terkena penyakit langka.
Angka ini cukup mengejutkan dan sangat mendesak bagi Indonesia untuk membentuk register nasional atau daftar resmi penyakit langka. Di negeri ini, ketiadaan register nasional mempersulit pendataan jumlah pasti orang yang terkena penyakit langka.
Secara kumulatif, ada sekira 300 juta penderita penyakit langka di seluruh dunia. Jumlah ini sebanding jumlah penderita kanker atau penyakit kardiovaskular.
Jumlah penyakit langka saat ini yang terdeteksi mencapai lebih dari 6.000 penyakit langka di penjuru dunia. Namun, obat yang tersedia hanya mampu mengobati 5 persen dari jumlah penyakit terdeteksi tersebut.
Seperti namanya, penyakit langka memiliki prevalensi rendah dalam populasi, yaitu memengaruhi 1 dari 2000 orang.
Masalahnya, penyakit langka sering kali diabaikan di sektor kesehatan. Namun, Indonesia baru-baru ini telah memiliki alat yang bisa digunakan untuk deteksi penyakit langka.
Tantangan dan keterbatasan
Tidak adanya register nasional akan mempersulit pendataan jumlah pasti orang yang terkena penyakit langka. Penyakit langka sering kali bersifat kronis, progresif (memiliki potensi untuk terus memburuk atau menyebar), dan mengancam jiwa.
Sekitar 80% kasus disebabkan oleh cacat genetik atau mutasi. Diagnosis biasanya membutuhkan analisis genetik, yang seringkali tidak tersedia di Indonesia.
Kolaborasi dengan negara lain telah terjalin untuk mengatasi masalah ini.Namun, diagnosis masih bisa memakan waktu bulanan atau bahkan tahunan. Pengobatan mungkin tidak tersedia atau memerlukan biaya tinggi.
Tantangan dalam diagnosis dan pengobatan ini tentu membebani sistem pelayanan kesehatan. Perhatian dan sumber daya dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk mengatasi penyakit langka di Indonesia.
Pentingnya pelajari genomik dan biologi molekuler
Pengetahuan genomik dan biologi molekuler telah merevolusi studi tentang penyakit langka. Kedua bidang tersebut sangat penting untuk mendiagnosis dan mengobati banyak penyakit langka yang telah luput dari perhatian para profesional medis selama bertahun-tahun.
Genomik melibatkan studi tentang kumpulan gen lengkap seseorang (genom), serta bagaimana gen-gen ini berinteraksi satu sama lain dan dengan lingkungan.
Dengan menganalisis genom, para peneliti dapat menentukan apakah suatu penyakit langka disebabkan oleh cacat pada gen tertentu.
Sementara itu, biologi molekuler berfokus pada komposisi, struktur, dan interaksi molekul seluler, seperti DNA dan protein. Ketika terjadi cacat pada gen, protein yang dihasilkan dapat menjadi rusak dan menyebabkan timbulnya penyakit, termasuk penyakit genetik langka.
Oleh karena itu, kemampuan untuk riset genom dan biologi molekuler sangat penting untuk memahami sifat penyakit langka.
Dengan pemahaman ini, para profesional medis dapat memberikan diagnosis yang akurat dan mengembangkan pengobatan yang tepat.
Inisiatif ilmu biomedis dan genom
Pandemi COVID-19 telah menyadarkan perlunya penelitian dan fasilitas biomedis canggih di seluruh dunia untuk memastikan kesehatan masyarakat.
Merespons hal ini, Kementerian Kesehatan Indonesia meluncurkan Ini siatif Ilmu Biomedis dan Genom (Biomedical and Science Initiative,BGSi) pada 2022.
Inisiatif ini bertujuan untuk menjadi garda terdepan dalam penelitian biomedis dan genom di Indonesia. BGSi memasukkan penyait genetik langka sebagai salah satu dari enam bidang fokusnya.
Salah satu penyakit langka pertama yang menjadi fokus BGSi adalah Duchenne Muscular Dystrophy (DMD). DMD adalah penyakit neuromuskular yang paling sering diwariskan, mempengaruhi sekira 500-700 orang di Indonesia setiap tahunnya. Penyakit progresif ini menyebabkan kelemahan otot. Tanpa penanganan yang tepat, pasien sering kali harus menggunakan kursi roda di usia remaja.
Saat ini, diagnosis DMD di Indonesia bergantung pada gejala klinis dan biopsi otot. Namun, pemeriksaan genetik merupakan standar emas untuk diagnosis DMD karena memberikan hasil lebih tepat, hemat biaya, dan hemat waktu.
Pemeriksaan genetik juga dapat memberikan informasi penting mengenai risiko genetik DMD pada keluarga pasien dan menentukan terapi spesifik mutasi untuk pasien.
Misi BGSi adalah mengembangkan kapasitas untuk melakukan pengujian genetik untuk DMD dan penyakit genetik langka lainnya di Indonesia.
Usaha lainnya: pusat penelitian Cryo-EM
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mendirikan Pusat Penelitian Mikrtoskopi Elektron Kriogenik (Cryogenic Electrin Microssopy/Cryo-Cryo EM ). Cryo-EM adalah teknologi revolusioner yang dapat dengan cepat memvisualisasikan struktur 3D molekul seluler, terutama protein.
Pentingnya teknologi cryo-EM telah tampak perannya selama pandemi COVID-19. Para ilmuwan menggunakan cryo-EM untuk menentukan struktur virus SARS-CoV-2 pada Februari 2020, bulan yang sama ketika pandemi dimulai secara global.
Identifikasi struktur virus yang cepat ini menjadi dasar dari pengembangan vaksin dengan cepat.
Sementara BGSi telah menyatakan berfokus pada penyakit genetik langka, BRIN tidak secara eksplisit menyatakan bahwa penelitian biomedis merupakan fokus dari studi cryo-EM. Menurut siaran pers BRIN, fasilitas cryo-EM pada awalnya akan digunakan untuk penelitian keanekaragaman hayati, tanpa ada uraian tujuan lebih lanjut.
Namun, fasilitas cryo-EM dapat digunakan untuk penelitian biomedis, termasuk yang terkait dengan penyakit genetik langka. Memahami perbedaan struktural antara protein yang sehat dan rusak akibat mutasi genetik pada penyakit langka akan membantu pengembangan pengobatan.
Fasilitas cryo-EM BRIN ini merupakan yang kedua ada di Asia Tenggara, setelah fasilitas serupa ada di Universitas Teknologi Nanyang di Singapura.
BRIN menyatakan masyarakat umum dapat mengakses fasilitas ini dan mendorong kolaborasi penelitian. Terlepas dari kritik terhadap kebijakan dan manajemen BRIN saat ini, kita berharap pengembangan lengkap fasilitas cryo-EM tidak terhambat.
Kolaborasi penyedia layanan kesehatan
Untuk memanfaatkan fasilitas biomedis yang baru dibangun di Indonesia, kolaborasi perlu dibina oleh berbagai institusi. Kementerian Kesehatan, BGSi, dan penyedia layanan kesehatan harus berkolaborasi untuk mengembangkan register nasional penyakit langka. Hal ini juga untuk menyederhanakan pengujian genetik untuk mendiagnosis penyakit-penyakit tersebut secara akurat.
Selain itu, universitas, lembaga penelitian, dan perusahaan farmasi dapat bergabung untuk mengeksplorasi sifat penyakit langka dan menemukan pengobatannya.
Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah penggunaan ulang obat, yang melibatkan penggunaan obat yang telah disetujui untuk indikasi baru (drug-repurposing approach), termasuk untuk penyakit langka. Hal ini dapat memberikan pilihan pengobatan yang lebih terjangkau.
Pendirian BGSi dan fasilitas cryo-EM menandai tonggak penting dalam upaya Indonesia untuk mendiagnosis dan meneliti penyakit langka.
Dengan kemitraan dan strategi yang tepat, Indonesia memiliki posisi strategis untuk membuat terobosan dalam memahami kompleksitas penyakit langka dan mengembangkan pengobatan yang efektif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.(Yonika Larasati dan Sarmoko/theconservation)