Sentuhan Ritno Membuat Ekowisata Nyarai Mendunia

 

Oleh Yurnaldi

 

Cuaca cerah benar-benar membawa berkah. Padahal hari-hari sebelumnya hujan lebat dan air bah. Rencana tertunda lima tahun lalu; mengajak keluarga bertualang menikmati pesona Air Terjun Nyarai  jadi kenyataan. Alhamdulillah.

Dalam setiap petualangan, doa saya semoga peroleh kemudahan dan mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan pengunjung  lain, akhirnya ditampakkan Allah Sang Mahapencipta. Apa itu? Silakan baca terus feature ini sampai kalimat terakhir, baru tuntas sudah.

Semula seorang warga pemandu wisata memperkirakan air bah belum susut, atau singkat kata air bah kemarin belum mencapai level normal. Ada kemungkinan melewati jalur alternatif, yang jaraknya semakin panjang dan medan jalan setapak relatif lebih berat. Jika melewati jalur normal, subyek tujuan Air Terjun Nyarai hanya berjarak 5,5 km dari Posko. Sepanjang jalur itu pengunjung  akan melewati jalur mendaki enam kali tanjakan dengan kemiringan 25 derajat hingga 45 derajat dan menuruni lembah. Jika sungai (batang) Salibutan masih bah, jarak dan waktu tempuh jadi bertambah.

Kawasan Hutan Lindung Bukit Barisan 1 dengan potensi Hutan Gamaran di Kecamatan Lubuak Alung, Kabupaten Padangpariaman, Provinsi Sumbar. (foto Yurnaldi)

Namun, alhamdulillah, kedalaman sungai yang setinggi paha orang dewasa memungkinkan kami menyeberangi aliran air batang (sungai) Salibutan saling berpegangan, agar tak hanyut dibawa arus deras. Berjuang sekira 15 menit, kami bisa menepi dan melanjutkan perjalanan etape selanjutnya. Seru dan menegangkan, namun ini tantangan yang mengasyikkan.

Menyeberangi sungai  berarus deras, salah satu jalur yang dilewati menuju Air Terjun Nyarai. (foto Yurnaldi)

Perjalanan menikmati pesona hutan Gamaran di Korong Gamaran, sekira 30 km utara Kota Padang, atau sekira 15 km dari Ibu Kecamatan Lubuak Aluang, Kabupaten Padangpariaman, Provinsi Sumatera Barat, kami awali dari Posko Ekowisata Nyarai, di Korong Gamaran.

Saya meminta kesediaan Ritno Kurniawan, pemuda pelopor yang memeroleh banyak prestasi dan penghargaan di tingkat provinsi, nasional, dan internasional untuk memandu, biar bisa mendengarkan langsung cerita di balik keberhasilannya menyadarkan masyarakat  pembabat hutan, membina generasi muda mencintai lingkungan dan memajukan Ekowisata Air Terjun Nyarai.

Sementara menunggu Ritno datang, saya dan keluarga mencermati informasi di posko. Saya sempat kaget, karena ketika saya berkunjung tahun 2015, posko masih menumpang di rumah warga milik Uni Piak Ubi (alm). Sekarang posko dan dua petak toko berdiri megah dengan halaman parkir yang cukup menampung 15 kendaraan roda empat dan puluhan roda dua. Juga dibangun tempat ibadah. Artinya, enam tahun setelah itu, kemajuan begitu pesat. Bahkan juga telah berdiri rumah penginapan (home stay) dua kamar, untuk pengunjung yang ingin menginap. Juga ada rumah pembibitan tanaman dan bunga.

Ritno yang saya hubungi via telepon, sekira 15 menit kemudian datang menyusul ke Posko Ekowisata Nyarai. Selain mencermati informasi, saya juga menyempatkan diri berdialog dengan beberapa warga. Mereka mengaku, selama puluhan tahun bekerja sebagai pembabat hutan untuk mendapatkan kayu dan atau menerima upah.

“Jika warga yang tinggal di tepi pantai kerjanya jadi nelayan dan menangkap ikan, maka kami yang tinggal di pingiran hutan, tak ada pilihan lain, setiap hari kami masuk-keluar hutan menebang pohon besar untuk diolah jadi kayu balok dan papan,” kata Basar (70).

Seperti sebuah takdir, yang tentu sangat dilematis bagi warga yang tinggal berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Bukit Barisan 1. Warga tentu saja dilarang masuk hutan apa pun alasannya. Meski demikian, warga seolah tak perduli. Hutan adalah tumpuan hidup dan sumber keberlangsungan hidup mereka. Dari 220 kepala keluarga di Korong Gamaran, semuanya menjadikan hutan Gamaran yang masuk dalam jajaran Bukit Barisan 1 sebagai sumber kehidupan.

“Setiap hari, dulunya, 10-15 batang kayu gelondongan yang ke luar hutan melalui jalur sungai (dihanyutkan) dan atau ditarik ternak kerbau. Kerja yang berat dan penuh resiko, tapi tak ada pilihan lain,” kata Safar (75).

“Paling banyak dalam sebulan bisa mendapatkan Rp500 ribu – Rp1 juta. Namun, resikonya taruhan nyawa. Ada juga warga yang bekerja sebagai pembabat hutan meninggal saat dibawa hanyut arus deras Sungai Salibutan, bersama kayu hasil tebangannya,” cerita Basar.

Di seputar Korong Gamaran dulu ada enam sawmill yang beroperasi dan menampung hasil pembabatan hutan. Selain kayu, dari hutan Gamaran juga menghasilkan rotan/manau yang begitu banyak potensinya. Dan yang bertahan sampai sekarang ada satu sawmill. Namun, tak pernah lagi sejak tahun 2013 mengolah kayu dari hutan, kecuali kayu dari tanaman warga di sekitarnya.

Sejak tahun 2013, warga pembabat hutan sepakat untuk menjaga kawasan hutan dan memajukan Ekowisata Air Terjun Nyarai. Kemudian, 168 warga yang dulunya pembabat hutan, beralih pekerjaan sebagai pemandu wisata, dengan penghasilan sedikitnya Rp100 ribu sehari. “Sebulan bisa mendapatkan Rp3 juta dari hasil memandu wisatawan lokal, nusantara, dan wisatawan mancanegara,” kata Ritno Kurniawan.

Ekowisata Nyarai resmi beroperasi 1 April 2013. Masyarakat Korong Gamaran, Nagari Salibutan, menyambut dengan suka cita. Inilah awal lembaran baru kehidupan warga yang sebelumnya puluhan tahun sebagai pembabat hutan, menjadi pelestari hutan dengan mengelola Ekowisata Nyarai dan berkeja sebagai pemandu wisatawan yang ingin menikmati pesona Air Terjun Nyarai yang dahsyat, unik dan berkelas dunia.

“Dengan pembinaan dan pendampingan yang berkelanjutan, sebanyak 55 orang dari 168 pemandu sudah memiliki lisensi kepemanduan,” tandas Ritno.

Air Terjun Nyarai. (Sumber foto: Instagram Sambahriil).

Perjalanan Seru dan Menegangkan

Pukul 08.15 WIB Ritno Kurniawan datang dengan motor dan dengan ramah menyapa. Ritno sempat lupa, karena sudah enam tahun tak jumpa setelah pertama kali bertemu tahun 2014. Akan tetapi, dengan nama saya, Yurnaldi, Ritno mengaku sudah begitu familiar, sebagai penulis dan wartawan pendiri Forum Wartawan Pariwisata (FWP) Sumatera Barat dan sekaligus ketua pertama FWP. Juga sebagai wartawan Kompas yang sudah malang melintang yang salah satu fokus liputannya adalah industri kepariwisataan di dalam dan luar negeri.

“Maaf, Bang, saya lupa kalau Abang pernah ke Posko Ekowisata Nyarai tahun 2014. Saya banyak mengikuti tulisan-tulisan Abang di Kompas dan di berbagai media, terutama masalah kepariwisataan. Bahkan tulisan Abang tentang perjalanan meliput Gerhana Matahari Total tahun 2016 ke Mentawai, menjadi yang terbaik dan peroleh perghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Budaya tahun 2016,” ujar Ritno.

Karena cuara cerah sekali, “panas berdengkang” istilah orang Minang, Ritno langsung bikin persiapan untuk memulai perjalanan. “Ini sepatu khusus tracking, silakan dipakai,” ujar Ritno. Warung Sinar menyewakan sepatu khusus tracking. Dan setelah itu, Ritno mengajak saya dan keluarga memasuki “Rumah Bibit Nyarai”, yang merupakan salah satu program Kampung Berseri Astra.

Rumah Bibit Nyarai. (Foto Yurnaldi)

“Satu keluarga atau satu tim (lima orang) wajib menanam satu bibit, gratis, di dalam kawasan hutan Gamaran. Silakan pilih, bibit apa yang mau ditanam. Kalau bibit dibawa pulang, harus bayar,” kata Ritno. Saya pilih tanam bibit pohon jengkol, karena buahnya adalah makanan paling favorit masyarakat Minang.

Berjalan kaki melewati jalan setapak sepanjang sekira 5,5 km ke Air Terjun Nyarai menyusuri tepi sungai Salibutan, mulai dari Lubuak Lalang, Lubuah Ngungun, Lubuak Batu Tuduang, Lubuak Sikayan Limau, Lubuak Sikayan Tabiang, Lubuak Pasangkuan, Lubuak Kasai Ketek dan Lubuak Kasai Gadang hingga AirTerjun Nyarai, banyak sekali keunikan yang menjadi daya tarik dan kekayaan Ekowisata Nyarai.   

Penulis sebagai pengunjung Ekowisata Nyarai wajib menanam satu pohon. (Foto Aura Nabila)

Ada area pemancingan ikan yang menjadi tempat favorit pemancing ikan dari mancanegara. Memancing ikan di arus deras air sungai tentu beda sensasinya dengan memancing di laut lepas. Jenis ikannya beda dan umpan pancingnya juga beda. “Ada alat pancing ikan yang harganya senilai satu unit mobil.  Pokoknya pemancing mancanegara mendapat tantangan yang berbeda saat memancing di kawasan Lubuah Lalang,” jelas Ritno.

Meneruskan perjalanan kami kemudian bersua kawasan sungai yang berpasir seperti kawasan pantai di Lubuak Ngungun. Dan uniknya, meski terjadi air bah saat musim hujan, pasir itu tidak berpindah. Karena air sungai jernih, kami bisa bercumbu dengan ikan-ikan larangan. Jika di  dalam gengaman ditaruh makanan ikan, maka ikan-ikan  mendekat dan berkerumun.  Benar-benar unik dan menjadi daya tarik tersendiri, yang tidak akan pernah ditemukan di tempat lain.

Kawasan Sungai Salibutan yang memiliki pantai berpasir. (Foto Yurnaldi)

 

Ikan-ikan berkerumun saat diberi makan. (Foto Yurnaldi)

Selanjutnya kami melewati Lubuak Batu Tuduang, di mana ada batu besar di kawasan sungai yang seperti tudung (tuduang). Juga ditemui batu gantung, yakni batu besar diperkirakan berat puluhan ton, ditopang tipis bebatuan besar, sehingga terlihat batuan besar itu seperti menggantung. Seperti apa menggantungnya, silakan datang langsung menyaksikan salah satu keunikan Ekowisata Nyarai ini.

Untuk melepaskan lelah perjalanan, ada tempat istirahat yang dibuat terbuka dan berlantai kayu. “Dari enam lokasi peristirahatan sementara, baru empat yang sudah kita bangun. Dua lokasi lagi butuh donasi pihak ketiga, kita berharap sangat dengan  bantuan  dana CSR BUMN/BUMD atau perusahaan swasta nasional,” kata Ritno.

Tempat istirahat sementara untuk melepas lelah. (Foto Yurnaldi)

Sepanjang perjalanan, saya dan Ritno juga berdiskusi tentang hutan Gamaran dan potensinya yang tak dimiliki kawasan ekowisata mana pun. Saya menyarankan agar pohon-pohon tertentu atau flora unik  di kiri-kanan jalan setapak dibuatkan plang namanya, biar sekaligus sebagai  informasi yang edukatif.

Juga ada potensi sumber air yang bisa langsung diminum. Karena dari hasil penelitian, menurut penjelasan Ritno, tingkat keasaman air tersebut lebih bagus dari air mineral. Potensi  sumber air yang langsung minum itu berasal dari Anak Air Pasangkuan, sekira 740 meter sebelum Air Terjun Nyarai.

Salah satu anak air (sungai) yang airnya bisa langsung diminum, karena dari hasil penelitian kandungan mineral dan tingkat kebasaannya, bagus dan aman untuk kesehatan. (Foto Yurnaldi)

Kami dalam perjalanan  menemukan  bunga hutan yang hanya terdiri dari tiga kelopak berwarna merah darah dengan sejumlah biji berwarna hitam seukuran biji kacang tanah. Seumur-umur baru ini kali pertama saya menemukan bunga hutan yang begitu indah dan menarik, namanya setelah saya telusuri adalah Balck Pearl Tree dari pohon Majidea zanguebarica.

Setelah menyeberangi sungai, saya juga melihat tiga rumpun anggrek raksasa menempel di pohon besar. Saya belum dapat info, apakah anggrek raksasa di hutan Gamaran di kawasan Air Terjun Nyarai ini sama jenisnya atau tidak dengan anggrek raksasa di Kebun Raya Bogor. Saat kami mendapatkannya, Anggrek itu belum berbunga. Bisa jadi anggrek raksasa itu endemik hutan Gamaran dan langka. Semoga saat berbunga nanti, saya berkesempatan untuk bisa kembali melihat dan mendokumentasikannya.

Dalam perjalanan kami juga mendapati kuburan tua, di kawasan Lubuak Kasai, yang menurut informasi yang penulis gali adalah kuburan yang berisi tiga orang Mayor TNI yang yang dikubur dalam satu lubang lahat, yakni Mayor Latif, Mayor Ibrahim, dan Mayor Ismael. Mereka adalah tentara Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)—era pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, yang dideklarasikan 15 Februari 1958-- tewas dalam pertempuran di tahun 1958. Artinya, kawasan hutan Gamaran juga merupakan kawasan hutan bersejarah sebagai salah satu area pertempuran tentara PRRI dengan tentara Pusat.

Ke depan perlu dibuatkan plang untuk memberikan sedikit informasi tentang siapa yang dikubur dan apa itu PRRI. Kegiatan napak tilas sejarah PRRI di kawasan hutan Gamaran, mungkin perlu dirancang dan digelar tiap tahun.

Kuburan pejuang PRRI di kawasan hutan Gamaran. (Foto Yurnaldi)

 Ops...tak jauh lagi saya dan keluarga akan sampai di lokasi tujuan utama, Air Terjun Nyarai. Jalan dipercepat, saking tak sabarnya. Hanya tinggal sekira 200 meter lagi. Kami sudah melewati 5,3 km. Dan kami dapat ujian terakhir, meniti pohon kayu yang sebagian terendam  air setinggi betis dan deras. Di duga kayu yang jadi titian itu sisa tebangan liar yang tersangkut puluhan tahun lalu. Panjangnya sekira 20 meter, dengan diameter 1 meter. Karena selalu digenangi air, kayu tersebut tak berlumut, tak melapuk, dan aman dilewati, tapi harus sangat hati-hati dan dipandu. Ritno sebagai pemandu sangat cekatan memandu kami satu per satu hingga menaiki bebatuan sangat besar.

Titian kayu berusia puluhan tahun untuk mencapai lokasi terbaik menikmati Air Terjun Nyarai. (Foto Yurnaldi)

Dan ternyata, ketika kami melirilk ke kanan setelah menaiki bebatuan besar itu, terlihat air terjun dan pemandangan yang sangat luar biasa. Air terjun yang sangat unik, dikelilingi bebatuan besar dengan  cekungan bagai kuali.

“Wow, luar biasa indah dan sangat unik. Tiada duanya di dunia. Hilang penat perjalanan sejauh 5,5 km selama 5 jam menyusuri medan jalan setapak yang menantang adrenalin,” ujar Rozalina Busro, istri saya dan anak gadis saya, Aura Nabila Yurnada.

Kami menghabiskan waktu sekira satu jam menikmati keindahan Air Terjun Nyarai, setelah makan siang dan salat. Banyak air terjun kami kunjungi, tapi inilah air terjun dengan jarak tempuh dengan jalan kaki paling jauh dan medannya berat. “Paling indah dan berkelas dunia,” seru Rozalina, yang suka bertualang di alam bebas.

Ritno membenarkan Air Terjun Nyarai sebagai salah satu yang terunik di dunia. “Menurut geolog lulusan UGM, Yusrafadi, Air Terjun Nyarai yang cekungannya berdiameter 15 meter, dalam ilmu geologi dinamakan Pathole (lubang pot), merupakan fenomena alam yang berasosiasi dengan air terjun maupun sungai,” katanya.

Mekanismenya adalah penggerusan atau abrasi dasar kanal sungai dengan litologi breksi oleh pasir hingga kerikil yang terperangkap dalam depresi dan pusaran arus kuat, pergerakan rotasi onal dari pasir, gravel hingga kerikil seperti mengebor dan membuat lubang yang dalam. Tentunya proses ini tidak dalam waktu yang singkat bahkan bisa jutaan tahun.

“Bukti yang bisa ditemukan pada kolam air terjun ini ditemukannya mineral abrasif seperti Kuarsa berukuran pasir yang berbentuk membundar,” papar Ritno mengutip Yusrafadi.

Pengamatan penulis di lokasi, sumber Air Terjun Nyarai bersumber dari  anak Sungai Nyarai. Sedangkan kolam di lubuk Nyarainya berasal dari Sungai Salibutan, Hutan Gamaran, Bukit Barisan 1.

Ritno menjelaskan, nama Nyarai berasal dari bahasa Minang yang artinya memisah, atau membuih. Karena air terjun di Nyarai airnya kecil, dan ketika jatuh dari tebing airnya memisah atau membuih. Mungkin ini satu-satunya air terjun dengan proses pembentukan secara geologis jutaan tahun lalu. Benar-benar rugi besar jika Anda tidak menyempatkan diri menikmati pesona keunikan dan keindahan  Air Terjun Nyarai ini.

Setelah puas menikmati Air Terjun Nyarai, sekira pukul 14.30 Wib kami siap-siap pulang. Dengan lima jam perjalanan, kami perkirakan sampai di Posko Nyarai pukul 19.30 WIB. Ternyata, perjalanan pulang lebih hanya 4,5 jam, lebih cepat 30 menit.

Menjelang Posko Nyarai, seorang pemandu mondar mandir menunggu kedatangan kami. “Teman pemandu tersebut  ingin memastikan,bahwa pertualangan kami tak ada masalah, sebab kita kembali ke posko sudah lewat maghrib. Sudah malam,” jelas Ritno.

Ke depan perlu alat komunikasi HT antara petugas siaga di Posko Nyarai dengan pemandu untuk memantau perjalanan. Kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan, pengunjung pingsan karena kelelahan, misalnya, bisa segera dikirim bantuan.

Air Terjun Nyarai yang dikelilingi bebatuan besar, yang mengalami proses geologis sejak jutaan tahun lalu. (Foto Ritno Kurniawan)

Flora dan Fauna Langka

Perjalanan kami  menikmati Ekowisata Nyarai diberkahi sejumlah keberuntungan. Jika saat pergi mendapatkan dua jenis flora langka dan endemik, yakni bunga hutan bernama Pearl Black Tree dan Anggrek Raksasa, maka saat pulang secara mengejutkan kami menemui fauna langka, yakni kura-kura melintas di depan kami.

Bunga hutan Pearl Black Tree. (foto Yurnaldi)

Anggrek raksasa, salah satu flora langka dan endemik Hutan Gamaran. (Foto Yurnaldi)

“Sejak Ekowisata Nyarai dibuka 1 April 2013, baru kali ini saya mendapati langsung kura-kura di kawasan Hutan Gamaran,” kata Ritno Kurniawan. Lalu, Ritno minta saya mendokumentasikannya. Setelah difoto, kura-kura tersebut dilepas kembali. Semoga fauna langka ini berkembang biak di hutan Gamaran.

Kura-kura Matahari, reptil langka Indonesia yang terancam punah, ditemukan di Hutan Gamaran, 1 Desember 2020. (Foto Yurnaldi)

Ketika saya telusuri melalui literasi, jenis kura-kura yang kami temukan adalah kura-kura langka, yakni kura-kura matahari (Heosemys spinosa), salah satu jenis reptil langka Indonesia yang terancam punah.

“Alhamdulillah. Perjalanan kami sekeluarga ke Air Terjun Nyarai benar-benar dinampakkan Allah SWT kekayaan flora dan fauna ciptaanNya,” kata Aura Nabila Yuranda, mahasiswa semester lima Universitas Andalas.

Bahkan secara mengejutkan, saya juga mendapati fauna langka lainnya, yaitu serangga unik, tercantik, dan termahal di dunia, yakni Kumbang Kura-kura atau Kepik Emas, di kawasan pinggiran Hutan Gamaran, Bukit Barisan 1.

Kumbang kura-kura atau kepik emas, serangga unik, langka dan termahal di dunia yang penulis temukan di kawasan Hutan Gamaran. (Foto Yurnaldi)

Saya juga mendapati binatang yang terbilang unik, yang dalam situasi “tak aman” atau “ada bahaya” langsung bergelung  dan seperti bola pingpong. Cangkang punggungnya keras untuk melindungi diri, kakinya 17 pasang. Binatang tersebut namanya Pill Bugs atau Armadilidium vulgare kato. Masyarakat setempat menamai binatang tersebut Kulum-kulum. Saya yakin, tidak banyak di antara pembaca dan atau pengunjung pernah melihat atau menemukan binatang seukuran bola pingpong ini.

Pill Bugs atau Armadilidium vulgare kato atau Kulum-kulum. (Foto: Yurnaldi)

Mungkin banyak flora dan fauna langka lainnya di Hutan Gamaran, namun setidaknya perjalanan kami sekeluarga benar-benar sangat bermakna, karena Allah SWT memperlihatkan alam ciptaannya, berupa flora dan fauna  yang unik dan langka. “Alhamdulillah, mungkin kami sekeluarga pengunjung  Ekowisata Nyarai yang paling beruntung,” ujar Rozalina.

Selain itu kami juga menemukan sepasang  jenis burung  yang belum sempat penulis klarifikasi spesiesnya.

Salah satu jenis burung di Hutan Gamaran, tapi belum penulis ketahui jenis burung apa. (Foto Yurnaldi)

Bahkan, dari informasi yang saya himpun dari pemandu Uda Mancoik (59), dia juga menemukan potensi kayu Bajakah yang bisa mengobati tumor dan kanker, seperti halnya yang sempat viral Bajakah dari kawasan hutan Kalimantan Barat.

“Ada beberapa jenis Bajakah, ada yang bisa untuk obat ada juga yang beracun. Saya tak hendak memberitahu yang lain lokasi dan potensi Bajakah, khawatir dieksploitasi besar-besaran,” kata Uda Mancoik, pemandu yang sudah malang melintang keluar-masuk hutan Gamaran.

Ketika  Bupati Solok Gamawan Fauzi  dilaporkan hilang selama lima hari bersama 115 pejabat dan staf di lingkungan Pemerintah Kabupaten Solok lainnya di kawasan Hutan Gamaran, Agustus 2009, Uda Mancoik adalah “orang rimba” yang menemukan keberadaan hilangnya Gamawan di Hutan Gamaran.

Ritno Kurniawan, Pemuda Fenomenal

Hutan Gamaran sebagai bagian dari Hutan Lindung Bukit Barisan 1 di kawasan Lubuak Aluang, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat, keberadaannya dikenal luas sejak Bupati Solok Gamawan Fauzi dinyatakan hilang bersama 100 orang lebih rombongan. Karena viral, Gamawan Fauzi kemudian menjadi gubernur Sumatera Barat. Dan menjelang berakhir masa jabatan, Gamawan yang deklarator Partai Demokrat, dipercaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri  Dalam Negeri .

Namun, hutan Gamaran  semakin dikenal luas dan mendunia setelah dibuka Ekowisata Nyarai, 1 April 2013. Hal ini tidak terlepas dari peran, inisiasi, dan kepeloporan Ritno Kurniawan, pemuda Korong Gadang, Kecamatan Lubuak Aluang, yang pulang kampung setelah menyelesaikan studi Sarjana Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), tahun 2011.

Ritno Kurniawan. (Foto: Dokumen Ritno)

Cerita bermula ketika Ritno yang suka bertulang dan peduli lingkungan itu pulang kampung dan ingin melakukan perubahan di kampung halamannya, di Kabupaten Padangpariaman. Ritno yang kelahiran Bukittinggi, 3 Mei 1986 dan dan masa pendidikan dasar di kampung, memang tak berminat kerja di pemerintahan jadi aparat sipil negara (ASN) sebagaimana harapan orangtuanya.

Sebagai aktivis pecinta lingkungan dan suka bertualang, Ritno ingin menyelamatkan lingkungan dari penebang liar/pembabat hutan. “Saya sejak kecil hingga remaj melihat langsung setiap hari ada 10-15 potong kayu gelondongan yang keluar hutan. Ini benar-benar mengkhawatirkan dan mencemaskan akan dampaknya, jika tak dihentikan,” cerita Ritno yang sudah mengantungi sertifikasi  Penyuluh Pariwisata dari Kementerian Pariwisata RI dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat dari Kementerian Kehutanan RI. Juga sertifikasi Kepemanduan Outbond dan Kepemanduan Arung Jeram dari BNSP RI.

Bukti penebangan liar, kayu gelondongan melapuk karena setelah ditebang susah dibawa. (Foto Yurnaldi)

Perubahan yang dilakukan Ritno bermulla ketika dia bersama Kapalo Mudo Nagari Salibutan, Asril alias Utiah si Aih, melakukan survei dengan menyusuri sungai  Salibutan, hutan Gamaran akhir tahun 2012 dan awal 2013. Waktu itu belum ada jalan setapak. Tidak disangka, setelah berjalan sekira 5,5 km menyusuri sungai yang berair jernih dan berbatuan, Ritno menemukan air terjun yang sangat indah dan unik. Air Terjun Nyarai, namanya.

Ritno, tentu tak hanya sebatas melihat potensi Air Terjun Nyarai di kawasan hutan Gamaran, tetapi juga potensi lainnya. “Jika di mata masyarakat kawasan hutan hanya sebatas diambil kayu dan rotan, di mata saya banyak kegiatan positif yang hasilnya bisa lebih besar dari menebang kayu di kawasan terlarang itu, yaitu bisa dijadikan destinasi wisata, tempat belajar, tempat bermain, wahana penelitian, olahraga, dan banyak kegiatan lainnya, yang intinya tidak merusak hutan,” jelas Ritno.

Lantas pulang dari “ekspedisi” yang terpikirkan oleh Ritno bagaimana mengubah pola pikir masyarakat dan mengalihkan kegiatan utama warga untuk tidak lagi membabat hutan. “Ini sebuah tantangan, dan saya suka tantangan itu,” kata Ritno.

Ritno tak kehilangan akal, apalagi semasa di kampus ia dikenal sebagai mahasiswa aktivis. Ritno intens berdialog dengan warga Korong Gamaran. Dia temui tokoh masyarakat setempat dan berdiskusi tentang potensi hutan Gamaran, sekaligus memberikan solusi usaha yang bisa dilakukan masyarakat tanpa merusak lingkungan dan hasilnya lebih baik. 

Ritno pada kesempatan lain juga menghadiri rapat masyarakat selama beberapa kali. “Tak putus sekali-dua kali pertemuan untuk meyakinkan masyarakat. Masih ada warga yang pro dan kontra untuk menyelamatkan lingkungan. Setelah lima bulan berjalan, sebagian besar warga sudah bisa diyakinkan dengan potensi hutan Gamaran sebagai destinasi wisata yang unik dan menarik, serta berkelas nasional dan dunia,” jelas Ritno.

Bulan Januari hingga Maret tahun 2013, baru ada komitmen untuk menghentikan pembabatan hutan. Konsekuensinya, Ritno harus melatih orangtua dan anak-anak muda untuk jadi pemandu Ekowisata Nyarai. “Proses pembelajaran jadi pemandu dimulai dengan cara melihat praktik langsung yang dilakukan Ritno. Kali ketiga dan keempat, warga yang langsung memandu sembari tetap didampingi,” papar Ritno.

Setelah sadar wisata masyarakat terbangun dan 168 penebang kayu bersedia dilatih menjadi pemandu Ekowisata Nyarai, maka mulai 1 April 2013 resmi dibuka Ekowisata Nyarai. Para pemandu  menyepakati delapan poin tanggung jawab Pemandu Wisata Nyarai kepada pengunjung dan 10 poin  Kode Etik Pemandu Ekowisata Nyarai.

Setelah dibuka, dari informasi di media sosial dan informasi dari mulut ke mulut, tamu-tamu mulai berdatangan. “Tahun 2014 terjadi booming pengunjung, sedikitnya 2.000 pengunjung setiap minggu. Sesuatu yang tidak saya sangka sebelumnya,” tandas Ritno. “Sepanjang 2020, karena pandemi Covid-19, pengunjung yang datang sedikit. Apalagi Ekowisata Nyarai adalah destinasi wisata minat khusus.”

Dalam mensupport kemajuan Ekowisata Nyarai, Ritno melibatkan semua pemangku kepentingan, mulai dari wali nagari Salibutan, pejabat di Dinas Pariwisata Kabupaten Padangpariaman dan Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Barat maupun pejabat Dinas Kehutanan Kabupaten Padangpatiaman dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat.

Menurut Ritno,  keberlanjutan kegiatan wisata minat khusus Air Terjun Nyarai adalah menerapkan pola sistem bagi hasil yang merupakan kesepakatan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dengan masyarakat, serta pemilik tanah. Karena kepemilikan tanah di Gamaran, Nagari Salibutan adalah tanah ulayat. Jadi cara ini menjadi solusi terbaik bagi masyarakat.

“Masyarakat dilibatkan tak hanya sebagai pemandu wisata, tetapi juga pengurus Pokdarwis, pengelola homestay, dan dilatih kemampuannya agar menjadi sumber daya yang handal dalam menerapkan sapta pesona wisata,” Ritno nenambahkan.

Pelan tapi berdaya, bersama bermanfaat dan “basamo mangko jadi”. Menurut Ritno usaha itulah yang memberikannya kesempatan menerima apresiasi Satu Indonesia Awards 2017, kategori lingkungan dari Astra Internasional.

Inisiasi dan kepeloporan Ritno di bidang lingkungan hidup dan kepariwisataan, menyadarkan masyarakat pembabat hutan untuk sadar wisata, memberdayakan masyarakat untuk membuat kehidupannya lebih baik, telah membuahkan sejumlah penghargaan.

Penghargaan yang diterima Ritno antara lain sebagai Pemuda Penggerak Pariwisata dan Lingkungan di Padangpariaman (2013), Juara I Pemuda Pelopor Tingkat Provinsi Sumatera Barat bidang Sosial Budaya, Lingkungan dan Pariwisata (2014), Juara Harapan I Pemuda Pelopor Nasional (2014), Juara 2 Wirausaha Mandiri Sumatera Barat (2015) Juara 2 Pemuda Pemberdaya Pariwisata untuk Masyarakat dari Leon Agusta Institute (2015).

Prestasi lainnya adalah nominator Frans Seda Awards dari Universitas Atmajaya (2016), Penggerak Pariwisata Sumatera Barat dari Riau Post (2016). Dari Almamaternya UGM, Ritno diganjar Penghargaan sebagai Alumni Muda Berprestasi (2016).

Dan setelah meraih apresiasi Satu Indonesia Awards (2017), perjuangan Ritno memberdayakan masyarakat, menyelamatkan lingkungan, memajukan industri pariwisata dan mengelola Ekowisata Nyarai diapresiasi program Kick Andy bertajuk Yang Muda Berhati Mulia (2018) dan setahun kemudian, 2019, nominator Kick Andy Heroes.

Ritno Kurniawan dalam acara Kick Andy. (Foto: dokumrn Ritno)

“Alhamdulillah Presiden juga mengapresiasi dengan menganugerahi  Satya Lencana Kepariwisataan yang disematkan Presiden RI Joko Widodo, tahun 2019. Sedangkan lembaga negara DPD RI pada tahun 2019 itu juga memberikan penghargaan sebagai Teladan Pariwisata Nasional,” papar Ritno Kurniawan, yang juga dipercaya menjadi Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Nyarai.

Ritno dengan kelompok binaannya juga tercatat beberapa kali meraih prestasi, seperti Juara II Kelompok Sadar Wisata LA Adventure tingkat Nasional dari Kementerian Pariwisata RI (2016), Juara I Inovasi Manajemen Lingkungan dari PT Semen Padang. Juga meraih penghargaan internasional; Juara I European Outdoor Conservation Acosiation (EOCA) tahun 2016. Tahun 2018 Ritno meraih Kalpataru Tingkat Sumatera Barat, Kategori Kelompok Penyelamat Lingkungan.

Yang terbaru, 2020, Ritno yang belakangan juga banyak diundang sebagai narasumber untuk  berbagi pengalaman juga menerima Penghargaan Wana Lestari kategori Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat tingkat Provinsi Sumatera Barat, melalui SK Gubernur Sumatera Barat Nomor 522.A/25533/Dishut/2020. Ritno juga mendapat Terbaik I Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM).

Atas prestasi yang diraih Ritno (kiri), tokoh-tokoh masyarakat diundang dalam acara syukuran yang sangat sederhana, 3 Desember 2020. (Foto Yurnaldi)

Yang membuat Ritno lebih bangga lagi adalah ketika perjuangan dia bersama masyarakat untuk mengajukan izin mengelolaan hutan Gamaran untuk kepentingan Ekowisata Nyarai, sejak empat tahun lalu, disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan  Kehutanan RI, tahun 2019 lalu.

“Alhamdulillah. Masyarakat Nagari Salibutan, Kecamatan Lubuak Aluang memperoleh Hak Pengelolaan Hutan Desa seluas 2.791 hektar. Hutan dikelola untuk kepentingan pariwisata, Ekowisata Nyarai,” papar Ritno Kurniawan, yang kini juga tengah melanjutkan studi magister manajemen di Universitas Negeri Padang (UNP). Ritno pun dipercaya masyarakat menjadi Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial Ekowisata Nyarai.

Ditemui secara terpisah di Padang, Kepala Bidang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar Yonefis Yusman membenarkan. “Ya, masyarakat di Nagari Salibutan, yang berbatasan langsung dengan hutan Gamaran, Bukit Barisan 1, sudah peroleh izin Hak Pengelolaan Hutan Desa seluas 2.791 hektar, Juli 2019,” katanya.

Menurut Ritno, ada beberapa paket wisata yang bisa ditawarkan ke pengunjung Ekowisata Nyarai, antara lain tracking (trekking), menyusuri hutan Gamaran dengan berjalan kaki melewai rimbunnya hutan, menyeberangi sungai, menikmati keindahan alam, dan berfoto ria di sejumlah lokasi yang unik. Juga kegiatan menombak ikan dan atau memancing ikan (spear fishing). Masyarakat juga bisa camping, bermalam di lokasi Air Terjun Nyarai. Kegiatan menarik berikutnya adalah bird watching, yaitu melihat burung-burung liar di Hutan Gamaran. Selanjutnya kegiatan mancing mania, yaitu kegiatan memancing di Lubuak Larangan, tapi setelah didapat ikannya dikembalikan lagi ke habitatnya.

Memelopori Arung Jeram

Ritno Kurniawan bukan tipe generasi milenial yang cepat puas. Dia terus mencari dan menggali potensi wisata, serta menginspirasi dan memberdayakan generasi muda. Karena Sumatera Barat daerah yang banyak sungai, Ritno pun melihat peluang besar untuk dikembangkannya wisata arung jeram di Sungai Batang Anai, masih di kampung halamannya, Kabupaten Padangpariaman.

“Sejak tahun 2017 saya melihat peluang besar untuk memanfaatkan potensi sungai (batang) Anai yang arus air relatif deras  dan medannya menantang adrenalin. Saya pikir cocok sekali dikembangkan wisata arung jeram,” kata Ritno, yang kemudian mendirikan Lestari Alam Rafting.

Tamu LA Rafting menikmati sensasi Sungai (Batang) Anai. (Foto Dokumen Ritno)

Ritno yang kini Direktur Lestari Alam Rafting sudah peroleh sertifikasi kepemanduan arung jeram dari BNSP RI. Di Sumatera Barat Ritno gencar memberikan pelatihan dan pendampingan kepada kelompok sadar wisata yang bergerak di bidang arung jeram di Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Agam, dan kabupaten/kota lainnya di Sumatera Barat.

“Kita senang dan bangga animo generasi muda mengembangkan wisata arung jeram begitu tinggi. Untuk persiapan ke arah itu tentu harus ada persipan peralatan dan juga sumber daya manusia yang terlatih dan mempunyai sertifikat. Saya akan terus melakukan pendampingan, sampai mereka mandiri,” jelas Ritno.

Ritno ketika melakukan pendampingan di Kabupaten 50 Kota. (Foto Dokumen Ritno)

Karena sudah memiliki sertifikat pelatih arung jeram, Ritno pun dipercaya jadi pelatih Tim Arung Jeram Faji Padangpariaman, di Pekan Olahraga Provinsi Sumatera Barat  XV, 2018. Pelatih Arung Jeram Lomba R4 di Bengkulu, 2018. Dan Pelatih Arung Jeram, open tournamen Halaban, tahun 2019.

 

Ritno memberikan pelatihan kelompok sadar wisata di sebuah hotel di Padang, 16 September 2020. (foto: dokumen Ritno)

Dalam riwayat pemberdayaan di bidang arung jeram ini, Ritno Kurniawan sudah menjadi instruktur pelatihan arung jeram pemula di Kabupaten Solok, 2018. Instruktur pelatihan dasar-dasar arung jeram di Silokek, Kabupaten Sijunjung, 2018. Instruktur pelatihan arung jeram di Kabupaten Solok Selatan, 2019. Dan instruktur pelatihan arung jeram di Suliki, Kabupaten 50 Kota, 2020.

Teruslah berkiprah, menginspirasi dan tetap semangat  memajukan Indonesia, Ritno!

 

 

 



Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال